Rabu, 10 April 2013

Candi Sukuh


Candi Sukuh: Penyatuan Seksualitas Menuju Semesta

Solo sebagai Kota Batik memang memiliki pesonanya sendiri. Sesampainya di Solo, tentu kami mampir sejenak ke kampung batik (yang cukup terkenal adalah Kampung Batik Kauman dan Laweyan) dan Museum Batik Danar Hadi, tak lupa mencicipi kuliner khasnya, seperti gudeg, nasi liwet, klatak (olahan daging kambing), serabi, dan juga masakan oriental di sekitar pecinan, salah satunya Mi Ayam Gang Kecil. Tapi Solo bukan tujuan kami, melainkan perhentian awal menuju kawasan percandian di Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, Jawa tengah (masih dalam wilayah Karisidenan Surakarta). Yang pertama akan kami datangi adalah Candi Sukuh.



Perjalanan kami mulai dari Terminal Tirtohadi di Solo menuju Tawangmangu dengan jarak sekitar 20 km. Meninggalkan Kota Solo, kami memasuki kawasan pegunungan yang dipenuhi dengan rumah-rumah penduduk bergaya arsitektur Jawa serta perkebunan dan hutan pinus yang sejuk. Tak seperti informasi kawan yang pernah berkunjung sebelumnya, jalanan yang kami lewati sekarang meski berkelok dan menanjak, namun aspal jalan sudah sangat bagus dan mulus. Semakin ke atas, jajaran pohon pinus semakin rapat dan udara kian terasa dingin ketika hembusan angin menerpa wajah kami saat membuka kaca mobil. Ini belum apa-apa dibandingkan kelak kami harus melanjutkan perjalanan dengan ojek menuju lokasi candi di lereng bukit.

Lingga dan Yoni Sebagai Representasi Makrokosmos
Sedikit demi sedikit, gerbang batu itu kian jelas menampakkan tubuhnya. Ketika akhirnya kami sampai di lereng barat Gunung Lawu, tepatnya di Dusun Sukuh, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso. Di antara pepohonan, sosok candi tersebut terlihat begitu gagah, sekaligus lembut dan menenangkan. Berbeda bentuk dengan candi-candi lainnya di sekitar Yogyakarta maupun Jawa Tengah, Candi Sukuh mirip sekali dengan bentuk kuil peninggalan Suka Maya berupa piramida (punden berundak). Meski tak ada dari kami yang pernah ke piramida-piramida di Peru, Chili, atau pun Meksiko, tapi kami berani jamin bahwa Candi Sukuh tak kalah indahnya dengan candi-candi yang ada, bahkan dengan piramida di belahan dunia lain.



Selain bentuknya yang mengesankan, Candi Sukuh juga dihiasi dengan berbagai arca dan relief yang dipahat langsung pada dinding-dinding candi. Pahatannya memang tidak sehalus pada Candi Prambanan atau Borobudur, tetapi lebih dalam (relief lebih menonjol) dan sosok-sosok pada relief candi mirip dengan sosok pada candi-candi di Jawa Timur, seperti Candi Jago. Berdiri di gapura pertama, adalah titik terbaik dan tepat untuk menyaksikan keindahan Kota Solo dan kawasan pemukiman dan perkebunan yang hijau dari ketinggian 910 m di atas permukaan laut. Rasanya seperti sedang berada di atas awan melihat hamparan kota dan bukit di bawah sana. Melewati gapura kedua yang lebih tinggi, hingga gapura dan teras ketiga di mana candi induk berupa piramid berada, kami begitu takjub melihat simbol-simbol binatang, burung garuda, dan kelamin perempuan maupun laki-laki.

Candi Sukuh diprediksi sebagai peninggalan Kerajaan Majapahit pada pertengahan abad ke-14 sampai 15 atau menurut kalender Jawa bertahun 1359 Saka atau 1437 Masehi (“Gapuro Bhuto Anguntal Jalmo” yang setiap kata masing-masing mewakili huruf 9-5-3-1). Sebagai candi yang berorientasi pada Siwa Buddha Tantrayana, lambang kelamin memiliki makna yang sakral atau kekuatan keseimbangan Tantrayana (penyatuan lingga/kelamin laki-laki dan yoni/kelamin perempuan). Salah satu ajaran Tantrayana adalah mengenai penjelasan tentang Bhuana Alit (mikrokosmos) dan Bhuana Agung (makrokosmos) atau dalam Hindu berupa Purusa-Pradana yang dilambangkan dengan perkawinan Bhatara Siwa (sacred masculine/penis) dan Betari Durga (sacred feminine/vagina dan rahim). Keduanya tak bisa dipisahkan layaknya mikrokosmos sebagai bagian kecil dari makrokosmos (semesta atau “Tuhan”). Tantrayana mengajarkan bahwa tubuh manusia (mikrokosmos) merupakan miniatur alam semesta (makrokosmos). Denah candi pun mewakili kesatuan lingga-yoni. Candi induk berupa piramid yang menonjol di bagian atas adalah representasi falus, sementara pembagian ruang dengan tiga teras dan gapura dengan lorong yang menyempit begitu mirip vagina, rahim, dan saluran kelamin perempuan. Maka, candi dikaitkan sebagai jembatan antara mikrokosmos (tubuh manusia) dan makrokosmos (semesta/Tuhan).



Keterkaitan simbol lingga-yoni dan pencapaian manusia (moksa) sangat erat ditampilkan pada candi ini. Tiga teras dan gapura juga memiliki arti sebagai Dunia Bawah (Nisat Mandala/Njaba) ditandai dengan relief Bima Suci; Dunia Tengah (Madya Mandala/Njaba Tengah) dengan relief Ramayana, Garudeya, dan Sudhamala; dan Dunia Atas (Utama Mandala/Njeroan) melalui relief Swargarohanaparwa (Nirwana). Tiga dunia juga merupakan tahapan kehidupan manusia: lahir, hidup, dan mati/moksa/penyatuan yang sangat erat hubungannya terhadap seks maupun seksualitas tanpa prasangka terhadap identitas maupun preferensi seksual atau stigma tabu terhadap seks/kelamin.

Dari bentuk dan ornamennya (denah, relief, dan arca) menegaskan bagaimana struktur tubuh manusia (alat kelamin) memiliki makna yang dalam dan sakral sebagai bagian mikro dari semesta atau proses menuju Sang Maha Esa. Candi Sukuh adalah simbol penyempurnaan manusia menuju tahapan selanjutnya atau tertinggi. Orang Jawa menyebutnya dengan ruwat atau (upacara) ruwatan di mana manusia ditasbihkan untuk “naik” atau penyembuhan/pembebasan dari segala dosa. Sampai saat ini, masyarakat yang beragama Hindu maupun orang-orang Jawa yang masih mempercayai dan melakukan tradisi kuno, masih berdoa di candi sebagai sarana komunikasi kepada Tuhan untuk pengampunan atau pembersihan diri.

Kisah dan Penokohan
Tak hanya memiliki sosok relief dinding yang mirip dengan candi di Jawa Timur, Candi Sukuh ternyata juga memiliki kisah yang serupa, salah satunya adalah kisah tentang Dewi Kadru yang beranak Naga dan Dewi Winata yang beranak Garuda terkait pencarian air kehidupan (Tirta Amerta). Mitologi tersebut mungkin terasa tak masuk akal, namun memiliki makna simbol dan metafor yang dekat dengan sains tentang proses penciptaan bumi. Bentuk piramid yang menyerupai Gunung Mandara, adalah pasak dengan lilitan ekor Naga Basuki yang menjadi goncangan sirkular untuk memulai pengadukan “lautan susu” mencari air kehidupan di mana tiga kura-kura berperan sebagai penyangga gunung. Selain memberikan pemahaman proses penciptaan semesta, pada relief lain yang menunjukkan balai/rumah di mana terdapat seorang ibu tengah berjongkok dan adanya orang tarik-menarik, menurut tafsiran Suro Gedeng, penulis buku kecil tentang Candi Sukuh yang bisa didapatkan pada loket atau pos informasi candi, merupakan penggambaran seorang manusia yang tinggal pada rahim dan pemeliharaan ibu, hingga kelak sang embrio menjadi manusia yang tarik-menarik dengan karma baik (Subakarma) dan karma buruk (Asubakarma).



Ada pula relief “Sangkan Paraning Dumadi” yang mensejajarkan Dewa Siwa dan Bima yang manusia berdiri dalam lingkup tapal kuda dengan ornamen naga berkepala dua dan Kala, dapat dimaknai sebagai pencapaian manusia yang berasal dari Sang Tunggal terhadap suatu kesadaran (wujud fisik sebagai wadah belaka). Penyatuan tersebut merupakan pelepasan ego manusia (keduniawian/fisik).

Tafsiran pada relief dan patung di Candi Sukuh juga menjadi tafsir kitab Jawa Kuno Sudamala. Kisahnya bisa sangat mirip dengan tafsir agama monoteisme (Samawi) tentang bagaimana manusia turun ke bumi. Dikisahkan bahwa Dewi Uma (Parwati) yang berkhianat dari “suami”-nya Sang Batara Guru (Dewa Siwa), diusir dan dikutuk menjadi Durga. Untuk bisa kembali ke Swargaloka, Durga memerlukan Pandawa (bernama Sadewa) yang bersedia meruwatnya. Namun Sadewa yang menolaknya, diikatnya pada pohon randu, hingga terjadi perkelahian dan penyerahan (ruwat/kembalinya kemuliaan Durga sebagai Dewi). Kisah tak berhenti sampai situ, namun berlanjut hingga Sadewa meminang kekasih dan pertempuran Bima membinasakan Kalantaka dan Kalanjaya.

Yang menarik dari relief Candi Sukuh, yaitu kemunculan tokoh Semar pada banyak adegan penting. Kyai Lurah Semar Inanabhadra adalah sosok yang sakral pada kitab Jawa dan pewayangan, serta menjadi teman atau bapak (pendamping sakti) bagi para Pandawa. Kata “Semar” sendiri dalam bahasa Jawa, dapat diartikan “samar” atau berasal dari kata “sar” (imbuhan “-am”) yang bermakna cahaya atau menjadi kata kerja “nyamar.” Ia muncul dengan mimik yang ekspresif (manusiawi) dengan perangai lucu, jenaka, kadang canda-tawa, tapi kadang bisa menangis. Meski begitu, Semar memunculkan banyak kebijaksanaan dalam tingkah lakunya. Ia pun dianggap sebagai jelmaan dari dewa (Sang Hyang Ismoyo) yang me-“manusia”-kan dirinya.



Keruntuhan Majapahit memunculkan peradaban agama baru di Jawa. Candi Sukuh saat ini mungkin hanya dilihat sebagai atraksi pariwisata bagi penduduk desa ketimbang tempat sakral. Namun cerita para orang-orang tua yang menitipkan pesan kepada generasi selanjutnya, memunculkan banyak interpretasi tentang hal-hal gaib, sehingga candi masih dihormati, dirawat, dan tak ada yang berani mencuri potongan relief maupun patung meski candi hanya dipagari seadanya.

Keberadaan candi pada lereng gunung yang dikelilingi hutan pinus ini sebetulnya telah diketahui sejak dulu. Tahun 1815, Johnson sudah melaporkannya kepada Pemerintah Britania Raya, dilanjutkan oleh arkeolog Belanda Van der Vlis yang kemudian memugar candi pertama kali tahun 1928. Tahun 1995, Candi Sukuh didaftarkan ke UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia. Walaupun belum juga mendapat pengakuan dunia, kemegahan dan sakralitas Candi Sukuh tetap menarik bagi para spiritualis, arkeolog, serta para traveler dari seluruh dunia yang mencari petualangan jiwa di lokasi yang bagai Nirwana di dataran tinggi Kabupaten Karanganyar.

Candi Sukuh menjadi titik pertama dari penjelajahan candi kami di lereng-lereng Gunung Lawu. Tujuan kami selanjutnya adalah Candi Planggatan, Candi Menggung, Candi Cetho, dan Candi Kethek yang berada masih di Kabupaten Karanganyar.

Sumber:
Gedeng, Suro (2010) Candi Jawa Peninggalan Era Majapahit, Candi Sukuh: Sirna Ilang Kertaning Bumi Tata Tentrem Kerta Raharja. Karangnyar.
Papan informasi pada Candi Sukuh.

How to Get There:
Kabupaten Karanganyar berada sekitar 20 km dari Solo. Perjalanan bisa dimulai dari Kota Solo. Jika menggunakan kendaraan pribadi atau taksi, bisa memakan waktu sekitar 1 jam perjalanan. Tetapi dengan kendaraan umum, kemungkinan 2 jam karena bus akan mengetem atau menunggu penumpang lain di beberapa titik.

Dengan taksi dari Kota Solo, biasanya akan ditawarkan tanpa argo dengan harga tawar-menawar sekitar Rp 130 ribu. Sementara untuk kendaraan umum bisa dimulai dari Terminal Tirtonadi di Solo dengan bus jurusan Solo-Karanganyar bertarif Rp 7.000 dan akan turun di Terminal Karangpandan. Lalu, melanjutkan dengan kendaraan kecil atau angkot menuju Nglorog dengan tarif sekitar Rp 3.000. Bilanglah kepada kenek atau supir untuk minta diturunkan di pertigaan Nglorog. Dari sini, perjalanan bisa dilanjutkan dengan ojek seharga sekitar Rp 10 ribu sampai ke Candi Sukuh. (Harga berlaku tahun 2013.)

Untuk menuju lokasi candi atau wisata lainnya di sana, seperti air terjun atau gua, dapat menyewa ojek penduduk dengan tarif tawar-menawar sekitar Rp 100 ribu selama satu hari.

Where to Stay:
Di kawasan pegunungan dekat Candi Sukuh, terdapat beberapa vila yang berlokasi sekitar beberapa ratus meter dari candi. Kebanyakan dari vila tersebut disewa satu rumah dengan harga yang cukup mahal. Jadi, sebaiknya menggunakan jasa homestay (rumah penduduk) Desa Sukuh yang bertetangga persis dengan Candi Sukuh. Harga homestay bisa tawar-menawar. Harga sewa kamar dimulai dari Rp 50 ribu hingga Rp 150 ribu per malam. Biasanya harga masih fleksibel mengingat kadang satu kamar bisa untuk sekitar 3 orang atau menyewa ruang tamu rumah penduduk khusus untuk rombongan. Jika bersama lebih dari satu teman, sebaiknya mulailah menawar dengan harga Rp 50 ribu. (Harga berlaku pada tahun 2013) Jangan menawar hanya pada satu orang. Tanyalah kepada penduduk yang lain untuk tawaran harga yang murah dan fasilitas yang memadai.

Pastikan bentuk fisik kamar sebelum menyewa untuk mempertimbangkan kondisi kasur, selimut, kamar mandi, dan lainnya. Biasanya mereka akan menyediakan kopi atau teh panas dan sarapan pagi berupa mi instan jika kita menawarnya sebagai bagian dari sewa kamar.

What to See:
Tidak berdekatan, tetapi masih dalam kabupaten yang sama, kita bisa mengunjungi lokasi candi lainnya, yaitu Candi Planggatan (yang terdekat sekitar 3 km dari Candi Sukuh), ada juga Candi Menggung, Candi Cetho, dan Candi Kethek. Masih dalam satu area dengan Candi Sukuh, adalah Taman Hutan Raya KGPAA Mangkunagoro I di mana kita bisa menikmati pemandangan menakjubkan dari ketinggian di antara hutan pinus yang menjadi rumah kijang. Ada juga berbagai air terjun dan goa, seperti Grojogan Sewu di Kalisoro, Air Terjun Jumok di Ngargoyoso, Goa Cokrokembang di Anggrasmanis, dan lainnya.