Candi
Jago: Keagungan Darma Sang Raja
Masih di sekitar Kabupaten Malang di
mana pusat Kerajaan Singosari pernah berada, kami melanjutkan perjalanan dari
Candi Kidal menuju Dusun Jago di Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang. Di sinilah
bisa kami temukan candi lain yang memiliki keterkaitan penting pada masa
Singosari, yaitu pendarmaan lain dari raja selanjutnya.
Nama lokal lain dari Candi Jago adalah
Candi Tumpang atau Cungkup. Kata “Jago” berasal dari “Jajaghu” yang artinya
“Keagungan” (divine). Sebagai sebuah
tempat suci bersemayamnya seorang raja, Candi Jago tidak hanya menjadi sakral
dan dianggap suci, tetapi juga menyimpan daya magis yang bercampur dengan
manifestasi estetis sebagai simbol guna menghormati dan mengenang raja.
Kemulian
Mendiang Raja
Tak jauh dari Pasar Tumpang, kami
berbelok memasuki desa. Jalanan kecil dan berkerikil yang menanjak, membuat
kami harus menarik gas motor dengan hati-hati. Dikelilingi oleh rumah-rumah
penduduk dan dibatasi oleh sekedar pagar kawat berduri, tampak Candi Jago begitu
megah bagai menantang langit di ketinggian.
Warnanya yang kelabu serta berlumut pada
bagian-bagian tertentu membuat bata merah di bagian tengah tampak menyala di
bawah teriknya mentari. Pada kitab Negarakertagama, disebutkan bahwa Candi Jago
merupakan lokasi disemayamkannya Raja IV Kerajaan Singosari, yaitu Raja Rangga
Wuni dengan gelar Sri Jaya Wisnu Wardhana (1248-1268). Sri Jaya Wisnu tak lain
adalah adik kandung Anusapati dari Tunggul Ametung (ayah) dan Ken Dedes (ibu)
serta anak tiri dari Raja Pertama Sri Ranggah Rajasa. Motif yang mencirikan
seni Singosari pada candi berupa sebaran hiasan berupa padma.
Sebagai candi pendarmaan, Candi Jago
menampilkan wujud dan karakter sang raja. Corak candi adalah Siwa-Buddha
(percampuran Hindu-Buddha pada Dinasti Singosari) sesuai dengan aliran yang
dianut raja. Diperkirakan candi diresmikan tahun 1280, dan mungkin telah
mengalami renovasi (pembangunan kembali) oleh Raja Adityawarman pada masa
Majapahit sesudahnya.
Seperti candi pada umumnya, Candi Jago
memiliki denah persegi panjang dengan tiga teras yang masing-masing memiliki
selasar yang kian mengerucut di bagian atas di mana terdapat teras bagian
belakang (menandakan bagian paling suci di tempat tertinggi). Keunikan yang
membedakan dengan candi lainnya, ialah bentuknya yang mirip dengan bangunan
punden berundak era Megalitikum. Hal tersebutlah yang menguatkan makna
sakralitas candi sebagai tempat pemujaan. Serupa dengan Candi Kidal dan Candi
Brahu yang diperkirakan berfungsi sama, pada bagian tertinggi terdapat relung
menyerupai pintu yang hampir seluruh sisinya dihiasi bunga dan sulur sebagai
simbol ketuhanan (divine/God/universe)
maupun pencerahan.
Perjalanan
Menuju Pembebasan Sejati
Candi Jago ditemukan Belanda tahun 1834.
Saat itu kondisi candi berada dalam keadaan rusak karena akar-akar pohon
beringin besar yang tumbuh di dekat candi. Keberadaan pohon di sekitar candi
mungkin memang sengaja ditanam sebagai penanda sekaligus pelindung keberadaan
candi dari marabahaya dan bencana. Tahun 1890, candi dipugar. Selanjutnya baru
pada tahun 1908, candi memiliki bentuk seperti sekarang ini. Bagian atas candi
masih belum mengalami bentuk sempurna karena bagian-bagian yang belum
ditemukan, sehingga sulit untuk direkonstruksi.
Hampir seluruh badan Candi Jago dipenuhi
dengan relief penuh kisah mengenai perjalanan spiritual manusia. Karena
menghadap ke barat, kita bisa memulai perjalanan tersebut dengan berjalan
mengelilingi candi mulai dari arah Barat, berlawanan arah jarum jam, melingkar
serupa simbol Chukurei (Reiki) atau spiral menuju teras atas yang mengerucut.
Kisah pada relief terbagi ke dalam dua
karakter, yaitu Hindu dan Buddha. Cerita Parthayajna, Arjunawiwaha, dan
Kalayawana adalah Hindu, sementara cerita Tantri/Pancatantra, Anglingdarma, dan
Kunjarakarna adalah Buddha.
Teras pertama dimulai dengan cerita
binatang (Parthayajna) di mana kita bisa membaca melalui relief kura-kura yang
terbang dengan menggigit tongkat yang dibawa burung bangau, kemudian serigala
yang memangsa kura-kura yang terjatuh dari langit karena kesombongannya
dan perlawanannya terhadap hakikat
hidupnya di daratan dan di perairan, bukan di langit. Dilanjutkan dengan kisah
Arjunawiwaha yang bercerita tentang Anglingdarma yang melihat percumbuan Naga
Gini dan Ular Tampar. Pula hadiah berupa Aji Geneng (ilmu bahasa binatang) yang
diberikan Naga Raja pada Anglingdarma dengan syarat bahwa ilmu tersebut tak
boleh diajarkan pada orang lain, bahkan kepada permaisuri Anglingdarma yang
membujuk dan mengancam untuk diajarkan, hingga mati terbakar karena
perkataannya sendiri. Di sinilah kita dapat memaknai tentang perselingkuhan,
kemarahan, pengkhianatan, fitnah , kelicikan, kebohongan (kejujuran), dan
amanah.
Masih pada teras pertama, adalah
Kunjarakarna yang berkisah mengenai perjalanan Kunjarakarna, yaitu murid setia
Wirawacana (Dewa Buddha). Perjalanan yang dialaminya sebelum mendapatkan
pencerahan pengetahuan (Dharma) tersebut merupakan perjalanan spiritual
memasuki neraka di mana ia melihat penyiksaan sahabatnya Purnawijaya. Setelah
momen tersebut, ia pun mulai mengajarkan kebaikan (agama Buddha), terutama
kepada Purnawijaya untuk membersihkan diri dari dosa-dosa.
Pada teras kedua, ada kisah Parthayajna
yang dimulai dengan adegan Pandawa yang kalah bermain dadu dengan Kurawa dengan
hukuman berupa pembuangan 13 tahun (sumber lain menyebut 15 tahun) di dalam
hutan. Selama pengembaraan itulah Arjuna memutuskan berpisah dengan saudara
lainnya dan memulai perjalanan spiritual (bertapa) di Gunung Indrakila di mana
ia kemudian bertemu gadis yang jatuh cinta padanya serta belajar dengan
dewa-dewi dan para petapa.
Teras ketiga, mengisahkan Arjuna Wiwaha
yang setelah pertapaannya di Gunung Indrakila, mendapatkan sebuah “pusaka” dan
perintah Dewa Siwa untuk membunuh raksasa bernama Niwatakawaca. Hingga kemudian,
Arjuna menikah dengan Dewi Supraba. Lebih dramatis lagi, pada relief terakhir
menceritakan peperangan Kresna dengan raksasa Kalayawana. Kresna yang terdesak
akhirnya bersembunyi di goa bersama para prajurit. Di saat bersamaan terdapat
Raja Mucukunda yang tengah bermeditasi, tapi dibangunkan (ditendang) Kresna.
Begitu marahnya sang raja hingga api seolah keluar dari matanya dan membakar
Kresna dan para prajuritnya.
Secara sekilas, relief-relief pada dinding
candi memiliki ciri visual yang khas dan mirip dengan wayang. Unsur-unsur Hindu
dan Buddha menyatu dengan sangat indah dan sakral. Tepat di depan candi,
terdapat bentuk yang diduga adalah stupa yang kini hanya menyisakan bagian
bawah dengan motif teratai. Sedangkan di sisi kanan, adalah arca Amoghapasa
bertangan delapan (tanpa kepala) bersama Kala (menyisakan hanya kepalanya
saja). Ukiran bunga memenuhi tubuh Amoghapasa, sementara aplikasi motif spiral
turut menghiasi hampir di seluruh wajah Kala, menandakan suatu sosok yang telah
mengalami pencerahan atau mencapai Nirwana.
Berada di kawasan dataran tinggi dengan
udara sejuk dan pemandangan yang mempesona, Candi Jago adalah petilasan yang
banyak memberikan makna spiritual, sekaligus rasa syukur dan kekaguman terhadap
keagungan dan keindahan sosoknya.
Sumber:
Candi Jago “Jajaghu.”
www.geocities.com/d3ja.
Informasi
pada papan informasi (lembar keterangan) pada halaman dan kantor informasi
Candi Jago.
How
to travel:
- Candi Jago terletak sekitar 21,5 km dari Kota Malang atau sekitar 7,5 km dari Candi Kidal. Berada di Dusun Jago, Desa Tumpang dengan patokan Pasar Tumpang (lokasi candi berada sekitar 200 m dari pasar).
- Tidak ada tarif standar untuk masuk Candi Jago, jadi sebaiknya berilah donasi secukupnya kepada penjaga/juru kunci candi.
- Karena candi msaih dianggap sebagai tempat yang sakral, jadi bersikaplah sopan dan menghargai candi dengan tidak membuang sampah, berpakaian sopan, dan bersikap hormat dan santun.
- Meski tidak ada larangan menaiki candi, sebaiknya jangan menaiki candi. Karena selain tangga yang sempit dan curam, tentu akan membahayakan pengunjung, apalagi bangunan candi sendiri juga sangat riskan mengalami kerusakan (kemerosotan) terhadap tekanan.
What
to see:
- Dengan badan candi yang dipenuhi dengan relief, kita dapat menikmati sekaligus belajar mengenai kesenian Dinasti Singosari melalui relief.
- Di halaman candi, juga terdapat berbagai sisa arca yang bisa dilihat.
- Candi Jago berada di kawasan pegunungan di mana sepanjang perjalanan di hiasi dengan gunung, perkebunan, dan hamparan sawah yang indah. Silakan mampir ke perkebunan apel yang terletak di desa-desa sekitarnya.
- Mampirlah di Pasar Tumpang pada pagi hari untuk menikmati keramaian dan kehidupan warga lokal, serta membeli jajanan dan panganan khas pasar tradisional yang masih bersih, murah, dan juga penuh pengalaman melalui interaksi dengan orang lokal.
- Kabupaten Malang adalah salah satu pintu menuju Bromo-Tengger-Semeru, jadi silakan catat keberadaan Candi Jago selama menempuh perjalanan ke sana.