Selasa, 09 April 2013

Candi Agung Borobudur

Candi Agung Borobudur: Nirvana on Earth

“The stretches out as smooth as the palm of the hands;
lotuses arise, and opening their blossom, cast forth light;
gods by the hundreds of thousands bow before Bodhimanda;
the first sign has been heard – the roar of the lion.”
(The Lalitavistara Sutra)

Rasanya hampir tak perlu lagi untuk menceritakan tentang Candi Agung Borobudur (the Great Temple of Borobudur). Sebagai salah satu keajaiban dunia, nama Borobudur telah tersohor berabad-abad lampau, tentu saja jauh sebelum UNESCO bersama Pemerintah Indonesia melakukan pemugaran di tahun 1973 hingga 1983, lalu menetapkannya sebagai warisan sejarah dunia (World Heritage Site). Sebagai bangunan Buddha terbesar dan termegah di seluruh dunia, Candi Agung Borobudur adalah bukti yang mewakili intelegensia, spiritualitas, teknologi, serta estetika tingkat tinggi dari masyarakat Nusantara pada masa itu.


Terletak di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, perjalanan menuju Borobudur kami lalui lewat Jogja yang lebih atraktif sebagai destinasi pariwisata internasional. Dari Kota Gudeg ini, kami menempuh perjalanan sekitar dua jam dengan kendaraan umum. Sesampainya di Taman Arkeologi Nasional Borobudur, kami berjalan kaki menuju candi. Kami datang pada hari libur. Keramaian turis tampak bagai semut yang mengerumuni bangunan candi.

Sebuah Keajaiban Akhirnya Ditemukan
Pada waktu ketika ia belum ditemukan, masyarakat sekitar menganggapnya sebagai sebuah bukit. Tertutup oleh pasir, tanah, debu, batu, lumut, serta tumbuhan. Nama “Borobudur” berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu kata “Boro” yang bermakna kuil atau candi (bangunan/lokasi suci) dan “Budur” atau “Beduhur” artinya bukit. Setidaknya, diperlukan waktu sekitar seribu tahun sebelum Borobudur akhirnya ditemukan oleh Gubernur Inggris di Jawa, Sir Thomas Stamford Raffles, yang juga adalah ahli batu. Dan 180 tahun kemudian (1907-1911) di masa kolonialisme Belanda, Theodorus van Erp memugarnya.

Secara keseluruhan, Candi Borobudur bermakna pencerahan (enlightement) atau penerangan (illumination) atau cahaya ilahi (the divine light). Borobudur didirikan pada Dinasti Syailendra yang menguasai Jawa pada awal abad ke-8 dan ke-9 Masehi (sekitar 1.230 tahun setelah Buddha memasuki Parinirwana). Keterkaitan ketika itu, sangat erat dengan kekuasaan dan kejayaan Sriwijaya (abad ke-7 hingga ke-13) di wilayah Sumatera bagian selatan sebagai pusat perdagangan maritim terbesar di Asia Tenggara, sekaligus pusat ajaran Buddha di dunia (the Age of Faith).



Dari kejauhan, Borobudur tampak berbentuk piramida raksasa (gunung), namun tentu saja ketika didekati, ia jauh lebih kompleks dan indah dengan bangunan berundag yang dihiasi relief timbul sebanyak 1.460 adegan, 1.212 panel relief dekorasi, 504 arca Buddha, serta ratusan arca yang semuanya terbuat dari batu andesit. Menjulang dengan ketinggian lebih dari 35 meter, Candi Borobudur tersusun dari 2 juta blok andesit dengan berat candi diperkirakan sekitar 3,5 juta ton.     

Pantas saja jika Borobudur dibangun dengan begitu megah dan indah. Ia adalah bentuk yang mewakili sebuah kosmik, replika semesta (universe). Potret dari tampak atas, tahapan undagan (garis dinding) pada Borobudur, sangat jelas menggambarkan pola semesta galaksi bimasakti dengan titik teratas (stupa tunggal) adalah pusat rotasi (pencapaian Nirwana, Tuhan Yang Maha Esa). Untuk merenungkan kesadaran tinggi tersebut, peziarah dan turis dapat memulainya dengan memasuki candi melalui pintu sebelah timur dan berputar mengelilinginya ke kiri. Ritual yang masih dilakukan oleh umat Buddha ini dikenal dengan Pradaksina. Melalui relief timbul, Candi Borobudur dibuat agar dapat dipahami secara universal oleh orang dengan bahasa berbeda, buta, maupun tuna aksara sekalipun. Ia dibuat dengan penggabungan aliran Hinayana, Mahayana, dan Wajrayana, sehingga dapat berlaku bagi siapa saja sepanjang masa.

Lalitawistara: Riwayat Hidup Sang Buddha
Seperti halnya candi lainnya, bangunan Candi Agung Borobudur terbagi ke dalam tiga bagian utama, meliputi “Kamadhatu” di bagian pondasi di mana kita bisa menyimak kehidupan manusia dan nafsu; lalu “Rupadhatu” yang menggambarkan kehidupan manusia yang telah dapat mengendalikan nafsu, tetapi masih terikat pada bentuk; dan bagian atas adalah “Aruphadatu” sebagai pencapaian tertinggi menuju Nirwana (eternal joy and happiness). Pada bagian atas inilah terdapat tiga teras stupa Buddha yang melingkar (area yang disebut “Wajra Satwa”). Baris pertama sebanyak 32 buah, baris kedua 24 buah, dan baris ketiga adalah 16 buah. Puncaknya adalah sebuah stupa raksasa tunggal yang di dalamnya terdapat arca Buddha dengan bentuk tak rapih. Menurut para ahli, arca tersebut sengaja dibuat berantakan untuk memaparkan pencapaian Buddha yang tak berbentuk. Arca tersebut juga dikenal dengan nama Kyai Belet. Kini, berada di Museum Karmawibhangga.



Melalui 120 relief timbul pada tingkat Ruphadatu, kisah perjalanan hidup Buddha dipaparkan. Lalitawistara dapat diartikan sebagai terkuaknya pertunjukkan agung atau kelahiran Buddha dalam mencerahkan umat manusia. Biografi tersebut terbagi ke dalam lima episode, yaitu kelahiran sang “Makhluk Tercerahkan” pada panel 1-27, masa kecil dan remaja Pangeran Siddhartha pada panel 28-55, “Empat Pertemuan” dan “Pelepasan Agung” pada panel 56-67, pencapaian menuju pencerahan pada panel 68-95, dan pencerahan dan “Pemutaran Roda Dharma Perdana” oleh Buddha pada panel 96-120.



Pada panel-panel awal sebelum kelahiran reinkarnasi Bodhisattwa, kita dapat menyaksikan visualisasi Dunia Atas yang dipenuhi para dewa-dewi dalam mempersiapkan kelahiran agung. Ratu Mayadewi, istri Raja Suddhodana di Kapilawastu terpilih sebagai perantara bagi Makhluk Agung. Selama mengandung, Sang Ratu memiliki kemampuan penyembuh dan para dewa-dewi turun memberikan penghormatan. Akhirnya, Makhluk Agung tersebut dilahirkan di Taman Lumbini di mana pohon-pohon sala berdiri tegak dan merekah. Kelahiran Pangeran Siddhartha disambut dengan turunnya banyak singa ke desa. Tak ada singa yang memangsa, mereka sekedar mengaung serempak menyambut kedatangan manusia yang terpilih. Kelak, singa pula menjadi kendaraan Buddha mencapai Nirwana. Itulah mengapa terdapat 32 arca singa yang menghiasi gerbang-gerbang candi sebagai simbol kekuatan pengusir jahat dan penjaga kesucian.

Kesempurnaan Siddhartha sudah tampak ketika ia beranjak remaja. Kecerdasan dan kebijaksanaan membuat guru dan orang sekitarnya begitu kagum. Kisah berlanjut hingga dorongan untuk melakukan pengembaraan dan pencarian terhadap kebenaran sejati. Keluar dari istana, ia melihat tanda-tanda dari prinsip ketidak-kekalan, yaitu penuaan, sakit, dan kematian. Melepaskan segala simbol kemewahan dan duniawi, Sang Pangeran mentransformasikan dirinya dengan memotong rambut, melepaskan pakaian (menggantinya dengan sehelai kain berwarna kunyit), dan memulai pengembaraannya sebagai petapa. Menempuh berbagai penderitaan dan meditasi panjang, Buddha pada akhirnya memahami “penderitaan universal” dan “Hukum Sebab-Akibat.” Tiba saatnya ia menyempurnakan dirinya sebagai “Makhluk yang Tercerahkan” dan mulai “memutar roda Dharma” (the Wheel of Law).

Keindahan Candi Agung Borobudur tidak hanya terletak pada bangunannya saja, tetapi juga pemandangan yang luar biasa ketika kita menginjakkan kaki di bagian atas (Aruphadatu). Jajaran pegunungan yang mengelilingi candi dari kejauhan seolah memberikan fantasi terhadap keindahan Nirwana. Rasa tenang, nyaman, dan damai adalah pesona lain yang ditampilkan Borobudur selain pemaknaan yang dalam bagi batin dan juga pengetahuan tingkat tinggi dari suatu peradaban. Pemugaran yang telah dilakukan terhadap Borobudur membuat kemegahannya dapat kita nikmati hingga seribu tahun mendatang. Dan tentu saja, dengan nilai-nilai universal yang dikandung oleh Candi Agung ini, Borobudur masih terus berlaku sampai ribuan tahun ke depan.

Sumber:
Brosur Borobudur oleh PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan & Ratu Boko (Persero).
Informasi pada papan informasi (lembar keterangan) pada halaman Candi Borobudur.
Leber, Titus (2011). Lalitavistara. Indonesia: KPG & PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan & Ratu Boko (Persero).