“The
stretches out as smooth as the palm of the hands;
lotuses
arise, and opening their blossom, cast forth light;
gods
by the hundreds of thousands bow before Bodhimanda;
the
first sign has been heard – the roar of the lion.”
(The
Lalitavistara Sutra)
Rasanya hampir tak perlu lagi untuk
menceritakan tentang Candi Agung Borobudur (the
Great Temple of Borobudur). Sebagai salah satu keajaiban dunia, nama
Borobudur telah tersohor berabad-abad lampau, tentu saja jauh sebelum UNESCO
bersama Pemerintah Indonesia melakukan pemugaran di tahun 1973 hingga 1983,
lalu menetapkannya sebagai warisan sejarah dunia (World Heritage Site). Sebagai bangunan Buddha terbesar dan termegah
di seluruh dunia, Candi Agung Borobudur adalah bukti yang mewakili
intelegensia, spiritualitas, teknologi, serta estetika tingkat tinggi dari
masyarakat Nusantara pada masa itu.
Terletak di Kecamatan Borobudur,
Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, perjalanan menuju Borobudur kami lalui lewat
Jogja yang lebih atraktif sebagai destinasi pariwisata internasional. Dari Kota
Gudeg ini, kami menempuh perjalanan sekitar dua jam dengan kendaraan umum.
Sesampainya di Taman Arkeologi Nasional Borobudur, kami berjalan kaki menuju
candi. Kami datang pada hari libur. Keramaian turis tampak bagai semut yang
mengerumuni bangunan candi.
Sebuah
Keajaiban Akhirnya Ditemukan
Pada waktu ketika ia belum ditemukan,
masyarakat sekitar menganggapnya sebagai sebuah bukit. Tertutup oleh pasir,
tanah, debu, batu, lumut, serta tumbuhan. Nama “Borobudur” berasal dari bahasa
Sansekerta, yaitu kata “Boro” yang bermakna kuil atau candi (bangunan/lokasi
suci) dan “Budur” atau “Beduhur” artinya bukit. Setidaknya, diperlukan waktu
sekitar seribu tahun sebelum Borobudur akhirnya ditemukan oleh Gubernur Inggris
di Jawa, Sir Thomas Stamford Raffles, yang juga adalah ahli batu. Dan 180 tahun
kemudian (1907-1911) di masa kolonialisme Belanda, Theodorus van Erp
memugarnya.
Secara keseluruhan, Candi Borobudur
bermakna pencerahan (enlightement)
atau penerangan (illumination) atau
cahaya ilahi (the divine light).
Borobudur didirikan pada Dinasti Syailendra yang menguasai Jawa pada awal abad
ke-8 dan ke-9 Masehi (sekitar 1.230 tahun setelah Buddha memasuki Parinirwana).
Keterkaitan ketika itu, sangat erat dengan kekuasaan dan kejayaan Sriwijaya (abad
ke-7 hingga ke-13) di wilayah Sumatera bagian selatan sebagai pusat perdagangan
maritim terbesar di Asia Tenggara, sekaligus pusat ajaran Buddha di dunia (the Age of Faith).
Dari kejauhan, Borobudur tampak berbentuk
piramida raksasa (gunung), namun tentu saja ketika didekati, ia jauh lebih
kompleks dan indah dengan bangunan berundag yang dihiasi relief timbul sebanyak
1.460 adegan, 1.212 panel relief dekorasi, 504 arca Buddha, serta ratusan arca
yang semuanya terbuat dari batu andesit. Menjulang dengan ketinggian lebih dari
35 meter, Candi Borobudur tersusun dari 2 juta blok andesit dengan berat candi
diperkirakan sekitar 3,5 juta ton.
Pantas saja jika Borobudur dibangun
dengan begitu megah dan indah. Ia adalah bentuk yang mewakili sebuah kosmik, replika
semesta (universe). Potret dari
tampak atas, tahapan undagan (garis dinding) pada Borobudur, sangat jelas
menggambarkan pola semesta galaksi bimasakti dengan titik teratas (stupa
tunggal) adalah pusat rotasi (pencapaian Nirwana, Tuhan Yang Maha Esa). Untuk
merenungkan kesadaran tinggi tersebut, peziarah dan turis dapat memulainya
dengan memasuki candi melalui pintu sebelah timur dan berputar mengelilinginya
ke kiri. Ritual yang masih dilakukan oleh umat Buddha ini dikenal dengan
Pradaksina. Melalui relief timbul, Candi Borobudur dibuat agar dapat dipahami
secara universal oleh orang dengan bahasa berbeda, buta, maupun tuna aksara
sekalipun. Ia dibuat dengan penggabungan aliran Hinayana, Mahayana, dan Wajrayana,
sehingga dapat berlaku bagi siapa saja sepanjang masa.
Lalitawistara:
Riwayat Hidup Sang Buddha
Seperti halnya candi lainnya, bangunan
Candi Agung Borobudur terbagi ke dalam tiga bagian utama, meliputi “Kamadhatu”
di bagian pondasi di mana kita bisa menyimak kehidupan manusia dan nafsu; lalu
“Rupadhatu” yang menggambarkan kehidupan manusia yang telah dapat mengendalikan
nafsu, tetapi masih terikat pada bentuk; dan bagian atas adalah “Aruphadatu” sebagai
pencapaian tertinggi menuju Nirwana (eternal
joy and happiness). Pada bagian atas inilah terdapat tiga teras stupa
Buddha yang melingkar (area yang disebut “Wajra Satwa”). Baris pertama sebanyak
32 buah, baris kedua 24 buah, dan baris ketiga adalah 16 buah. Puncaknya adalah
sebuah stupa raksasa tunggal yang di dalamnya terdapat arca Buddha dengan
bentuk tak rapih. Menurut para ahli, arca tersebut sengaja dibuat berantakan
untuk memaparkan pencapaian Buddha yang tak berbentuk. Arca tersebut juga
dikenal dengan nama Kyai Belet. Kini, berada di Museum Karmawibhangga.
Melalui 120 relief timbul pada tingkat
Ruphadatu, kisah perjalanan hidup Buddha dipaparkan. Lalitawistara dapat
diartikan sebagai terkuaknya pertunjukkan agung atau kelahiran Buddha dalam
mencerahkan umat manusia. Biografi tersebut terbagi ke dalam lima episode,
yaitu kelahiran sang “Makhluk Tercerahkan” pada panel 1-27, masa kecil dan
remaja Pangeran Siddhartha pada panel 28-55, “Empat Pertemuan” dan “Pelepasan
Agung” pada panel 56-67, pencapaian menuju pencerahan pada panel 68-95, dan
pencerahan dan “Pemutaran Roda Dharma Perdana” oleh Buddha pada panel 96-120.
Pada panel-panel awal sebelum kelahiran
reinkarnasi Bodhisattwa, kita dapat menyaksikan visualisasi Dunia Atas yang
dipenuhi para dewa-dewi dalam mempersiapkan kelahiran agung. Ratu Mayadewi,
istri Raja Suddhodana di Kapilawastu terpilih sebagai perantara bagi Makhluk
Agung. Selama mengandung, Sang Ratu memiliki kemampuan penyembuh dan para
dewa-dewi turun memberikan penghormatan. Akhirnya, Makhluk Agung tersebut
dilahirkan di Taman Lumbini di mana pohon-pohon sala berdiri tegak dan merekah.
Kelahiran Pangeran Siddhartha disambut dengan turunnya banyak singa ke desa.
Tak ada singa yang memangsa, mereka sekedar mengaung serempak menyambut
kedatangan manusia yang terpilih. Kelak, singa pula menjadi kendaraan Buddha
mencapai Nirwana. Itulah mengapa terdapat 32 arca singa yang menghiasi
gerbang-gerbang candi sebagai simbol kekuatan pengusir jahat dan penjaga
kesucian.
Kesempurnaan Siddhartha sudah tampak
ketika ia beranjak remaja. Kecerdasan dan kebijaksanaan membuat guru dan orang
sekitarnya begitu kagum. Kisah berlanjut hingga dorongan untuk melakukan
pengembaraan dan pencarian terhadap kebenaran sejati. Keluar dari istana, ia
melihat tanda-tanda dari prinsip ketidak-kekalan, yaitu penuaan, sakit, dan
kematian. Melepaskan segala simbol kemewahan dan duniawi, Sang Pangeran
mentransformasikan dirinya dengan memotong rambut, melepaskan pakaian
(menggantinya dengan sehelai kain berwarna kunyit), dan memulai pengembaraannya
sebagai petapa. Menempuh berbagai penderitaan dan meditasi panjang, Buddha pada
akhirnya memahami “penderitaan universal” dan “Hukum Sebab-Akibat.” Tiba
saatnya ia menyempurnakan dirinya sebagai “Makhluk yang Tercerahkan” dan mulai
“memutar roda Dharma” (the Wheel of Law).
Keindahan Candi Agung Borobudur tidak
hanya terletak pada bangunannya saja, tetapi juga pemandangan yang luar biasa
ketika kita menginjakkan kaki di bagian atas (Aruphadatu). Jajaran pegunungan
yang mengelilingi candi dari kejauhan seolah memberikan fantasi terhadap
keindahan Nirwana. Rasa tenang, nyaman, dan damai adalah pesona lain yang
ditampilkan Borobudur selain pemaknaan yang dalam bagi batin dan juga
pengetahuan tingkat tinggi dari suatu peradaban. Pemugaran yang telah dilakukan
terhadap Borobudur membuat kemegahannya dapat kita nikmati hingga seribu tahun
mendatang. Dan tentu saja, dengan nilai-nilai universal yang dikandung oleh
Candi Agung ini, Borobudur masih terus berlaku sampai ribuan tahun ke depan.
Sumber:
Brosur Borobudur oleh PT Taman Wisata Candi
Borobudur, Prambanan & Ratu Boko (Persero).
Informasi
pada papan informasi (lembar keterangan) pada halaman Candi Borobudur.
Leber,
Titus (2011). Lalitavistara.
Indonesia: KPG & PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan & Ratu Boko
(Persero).