Candi Sukuh: Penyatuan Seksualitas Menuju Semesta
Solo sebagai Kota Batik memang memiliki pesonanya
sendiri. Sesampainya di Solo, tentu kami mampir sejenak ke kampung batik (yang
cukup terkenal adalah Kampung Batik Kauman dan Laweyan) dan Museum Batik Danar
Hadi, tak lupa mencicipi kuliner khasnya, seperti gudeg, nasi liwet, klatak
(olahan daging kambing), serabi, dan juga masakan oriental di sekitar pecinan,
salah satunya Mi Ayam Gang Kecil. Tapi Solo bukan tujuan kami, melainkan
perhentian awal menuju kawasan percandian di Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar,
Jawa tengah (masih dalam wilayah Karisidenan Surakarta). Yang pertama akan kami
datangi adalah Candi Sukuh.
Perjalanan kami mulai dari Terminal Tirtohadi di
Solo menuju Tawangmangu dengan jarak sekitar 20 km. Meninggalkan Kota Solo,
kami memasuki kawasan pegunungan yang dipenuhi dengan rumah-rumah penduduk
bergaya arsitektur Jawa serta perkebunan dan hutan pinus yang sejuk. Tak
seperti informasi kawan yang pernah berkunjung sebelumnya, jalanan yang kami
lewati sekarang meski berkelok dan menanjak, namun aspal jalan sudah sangat
bagus dan mulus. Semakin ke atas, jajaran pohon pinus semakin rapat dan udara kian
terasa dingin ketika hembusan angin menerpa wajah kami saat membuka kaca mobil.
Ini belum apa-apa dibandingkan kelak kami harus melanjutkan perjalanan dengan
ojek menuju lokasi candi di lereng bukit.
Lingga dan
Yoni Sebagai Representasi Makrokosmos
Sedikit demi sedikit, gerbang batu itu kian jelas
menampakkan tubuhnya. Ketika akhirnya kami sampai di lereng barat Gunung Lawu,
tepatnya di Dusun Sukuh, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso. Di antara pepohonan,
sosok candi tersebut terlihat begitu gagah, sekaligus lembut dan menenangkan.
Berbeda bentuk dengan candi-candi lainnya di sekitar Yogyakarta maupun Jawa Tengah,
Candi Sukuh mirip sekali dengan bentuk kuil peninggalan Suka Maya berupa piramida
(punden berundak). Meski tak ada dari kami yang pernah ke piramida-piramida di
Peru, Chili, atau pun Meksiko, tapi kami berani jamin bahwa Candi Sukuh tak
kalah indahnya dengan candi-candi yang ada, bahkan dengan piramida di belahan
dunia lain.
Selain bentuknya yang mengesankan, Candi Sukuh juga
dihiasi dengan berbagai arca dan relief yang dipahat langsung pada
dinding-dinding candi. Pahatannya memang tidak sehalus pada Candi Prambanan
atau Borobudur, tetapi lebih dalam (relief lebih menonjol) dan sosok-sosok pada
relief candi mirip dengan sosok pada candi-candi di Jawa Timur, seperti Candi
Jago. Berdiri di gapura pertama, adalah titik terbaik dan tepat untuk menyaksikan
keindahan Kota Solo dan kawasan pemukiman dan perkebunan yang hijau dari
ketinggian 910 m di atas permukaan laut. Rasanya seperti sedang berada di atas
awan melihat hamparan kota dan bukit di bawah sana. Melewati gapura kedua yang
lebih tinggi, hingga gapura dan teras ketiga di mana candi induk berupa piramid
berada, kami begitu takjub melihat simbol-simbol binatang, burung garuda, dan kelamin
perempuan maupun laki-laki.
Candi Sukuh diprediksi sebagai peninggalan Kerajaan
Majapahit pada pertengahan abad ke-14 sampai 15 atau menurut kalender Jawa
bertahun 1359 Saka atau 1437 Masehi (“Gapuro
Bhuto Anguntal Jalmo” yang setiap kata masing-masing mewakili huruf
9-5-3-1). Sebagai candi yang berorientasi pada Siwa Buddha Tantrayana, lambang
kelamin memiliki makna yang sakral atau kekuatan keseimbangan Tantrayana (penyatuan
lingga/kelamin laki-laki dan yoni/kelamin perempuan). Salah satu ajaran
Tantrayana adalah mengenai penjelasan tentang Bhuana Alit (mikrokosmos) dan
Bhuana Agung (makrokosmos) atau dalam Hindu berupa Purusa-Pradana yang
dilambangkan dengan perkawinan Bhatara Siwa (sacred masculine/penis) dan Betari Durga (sacred feminine/vagina dan rahim). Keduanya tak bisa dipisahkan
layaknya mikrokosmos sebagai bagian kecil dari makrokosmos (semesta atau
“Tuhan”). Tantrayana mengajarkan bahwa tubuh manusia (mikrokosmos) merupakan
miniatur alam semesta (makrokosmos). Denah candi pun mewakili kesatuan
lingga-yoni. Candi induk berupa piramid yang menonjol di bagian atas adalah representasi
falus, sementara pembagian ruang dengan tiga teras dan gapura dengan lorong
yang menyempit begitu mirip vagina, rahim, dan saluran kelamin perempuan. Maka,
candi dikaitkan sebagai jembatan antara mikrokosmos (tubuh manusia) dan
makrokosmos (semesta/Tuhan).
Keterkaitan simbol lingga-yoni dan pencapaian
manusia (moksa) sangat erat ditampilkan pada candi ini. Tiga teras dan gapura juga
memiliki arti sebagai Dunia Bawah (Nisat Mandala/Njaba) ditandai dengan relief
Bima Suci; Dunia Tengah (Madya Mandala/Njaba Tengah) dengan relief Ramayana,
Garudeya, dan Sudhamala; dan Dunia Atas (Utama Mandala/Njeroan) melalui relief
Swargarohanaparwa (Nirwana). Tiga dunia juga merupakan tahapan kehidupan
manusia: lahir, hidup, dan mati/moksa/penyatuan yang sangat erat hubungannya
terhadap seks maupun seksualitas tanpa prasangka terhadap identitas maupun
preferensi seksual atau stigma tabu terhadap seks/kelamin.
Dari bentuk dan ornamennya (denah, relief, dan
arca) menegaskan bagaimana struktur tubuh manusia (alat kelamin) memiliki makna
yang dalam dan sakral sebagai bagian mikro dari semesta atau proses menuju Sang
Maha Esa. Candi Sukuh adalah simbol penyempurnaan manusia menuju tahapan
selanjutnya atau tertinggi. Orang Jawa menyebutnya dengan ruwat atau (upacara) ruwatan
di mana manusia ditasbihkan untuk “naik” atau penyembuhan/pembebasan dari
segala dosa. Sampai saat ini, masyarakat yang beragama Hindu maupun orang-orang
Jawa yang masih mempercayai dan melakukan tradisi kuno, masih berdoa di candi
sebagai sarana komunikasi kepada Tuhan untuk pengampunan atau pembersihan diri.
Kisah dan Penokohan
Tak hanya memiliki sosok relief dinding yang mirip
dengan candi di Jawa Timur, Candi Sukuh ternyata juga memiliki kisah yang
serupa, salah satunya adalah kisah tentang Dewi Kadru yang beranak Naga dan Dewi
Winata yang beranak Garuda terkait pencarian air kehidupan (Tirta Amerta).
Mitologi tersebut mungkin terasa tak masuk akal, namun memiliki makna simbol
dan metafor yang dekat dengan sains tentang proses penciptaan bumi. Bentuk
piramid yang menyerupai Gunung Mandara, adalah pasak dengan lilitan ekor Naga Basuki
yang menjadi goncangan sirkular untuk memulai pengadukan “lautan susu” mencari
air kehidupan di mana tiga kura-kura berperan sebagai penyangga gunung. Selain
memberikan pemahaman proses penciptaan semesta, pada relief lain yang
menunjukkan balai/rumah di mana terdapat seorang ibu tengah berjongkok dan
adanya orang tarik-menarik, menurut tafsiran Suro Gedeng, penulis buku kecil
tentang Candi Sukuh yang bisa didapatkan pada loket atau pos informasi candi,
merupakan penggambaran seorang manusia yang tinggal pada rahim dan pemeliharaan
ibu, hingga kelak sang embrio menjadi manusia yang tarik-menarik dengan karma
baik (Subakarma) dan karma buruk (Asubakarma).
Ada pula relief “Sangkan Paraning Dumadi” yang
mensejajarkan Dewa Siwa dan Bima yang manusia berdiri dalam lingkup tapal kuda
dengan ornamen naga berkepala dua dan Kala, dapat dimaknai sebagai pencapaian
manusia yang berasal dari Sang Tunggal terhadap suatu kesadaran (wujud fisik
sebagai wadah belaka). Penyatuan tersebut merupakan pelepasan ego manusia
(keduniawian/fisik).
Tafsiran pada relief dan patung di Candi Sukuh juga
menjadi tafsir kitab Jawa Kuno Sudamala. Kisahnya bisa sangat mirip dengan
tafsir agama monoteisme (Samawi) tentang bagaimana manusia turun ke bumi.
Dikisahkan bahwa Dewi Uma (Parwati) yang berkhianat dari “suami”-nya Sang
Batara Guru (Dewa Siwa), diusir dan dikutuk menjadi Durga. Untuk bisa kembali
ke Swargaloka, Durga memerlukan Pandawa (bernama Sadewa) yang bersedia
meruwatnya. Namun Sadewa yang menolaknya, diikatnya pada pohon randu, hingga
terjadi perkelahian dan penyerahan (ruwat/kembalinya
kemuliaan Durga sebagai Dewi). Kisah tak berhenti sampai situ, namun berlanjut
hingga Sadewa meminang kekasih dan pertempuran Bima membinasakan Kalantaka dan
Kalanjaya.
Yang menarik dari relief Candi Sukuh, yaitu
kemunculan tokoh Semar pada banyak adegan penting. Kyai Lurah Semar Inanabhadra
adalah sosok yang sakral pada kitab Jawa dan pewayangan, serta menjadi teman
atau bapak (pendamping sakti) bagi para Pandawa. Kata “Semar” sendiri dalam
bahasa Jawa, dapat diartikan “samar” atau berasal dari kata “sar” (imbuhan
“-am”) yang bermakna cahaya atau menjadi kata kerja “nyamar.” Ia muncul dengan
mimik yang ekspresif (manusiawi) dengan perangai lucu, jenaka, kadang
canda-tawa, tapi kadang bisa menangis. Meski begitu, Semar memunculkan banyak
kebijaksanaan dalam tingkah lakunya. Ia pun dianggap sebagai jelmaan dari dewa
(Sang Hyang Ismoyo) yang me-“manusia”-kan dirinya.
Keruntuhan Majapahit memunculkan peradaban agama
baru di Jawa. Candi Sukuh saat ini mungkin hanya dilihat sebagai atraksi
pariwisata bagi penduduk desa ketimbang tempat sakral. Namun cerita para
orang-orang tua yang menitipkan pesan kepada generasi selanjutnya, memunculkan
banyak interpretasi tentang hal-hal gaib, sehingga candi masih dihormati,
dirawat, dan tak ada yang berani mencuri potongan relief maupun patung meski
candi hanya dipagari seadanya.
Keberadaan candi pada lereng gunung yang
dikelilingi hutan pinus ini sebetulnya telah diketahui sejak dulu. Tahun 1815,
Johnson sudah melaporkannya kepada Pemerintah Britania Raya, dilanjutkan oleh
arkeolog Belanda Van der Vlis yang kemudian memugar candi pertama kali tahun
1928. Tahun 1995, Candi Sukuh didaftarkan ke UNESCO sebagai Situs Warisan
Dunia. Walaupun belum juga mendapat pengakuan dunia, kemegahan dan sakralitas
Candi Sukuh tetap menarik bagi para spiritualis, arkeolog, serta para traveler dari seluruh dunia yang mencari
petualangan jiwa di lokasi yang bagai Nirwana di dataran tinggi Kabupaten
Karanganyar.
Candi Sukuh menjadi titik pertama dari penjelajahan
candi kami di lereng-lereng Gunung Lawu. Tujuan kami selanjutnya adalah Candi
Planggatan, Candi Menggung, Candi Cetho, dan Candi Kethek yang berada masih di
Kabupaten Karanganyar.
Sumber:
Gedeng, Suro (2010) Candi
Jawa Peninggalan Era Majapahit, Candi Sukuh: Sirna Ilang Kertaning Bumi Tata
Tentrem Kerta Raharja. Karangnyar.
Papan informasi pada Candi Sukuh.
How to Get There:
Kabupaten Karanganyar berada sekitar 20 km dari
Solo. Perjalanan bisa dimulai dari Kota Solo. Jika menggunakan kendaraan
pribadi atau taksi, bisa memakan waktu sekitar 1 jam perjalanan. Tetapi dengan
kendaraan umum, kemungkinan 2 jam karena bus akan mengetem atau menunggu
penumpang lain di beberapa titik.
Dengan taksi dari Kota Solo, biasanya akan
ditawarkan tanpa argo dengan harga tawar-menawar sekitar Rp 130 ribu. Sementara
untuk kendaraan umum bisa dimulai dari Terminal Tirtonadi di Solo dengan bus
jurusan Solo-Karanganyar bertarif Rp 7.000 dan akan turun di Terminal
Karangpandan. Lalu, melanjutkan dengan kendaraan kecil atau angkot menuju
Nglorog dengan tarif sekitar Rp 3.000. Bilanglah kepada kenek atau supir untuk
minta diturunkan di pertigaan Nglorog. Dari sini, perjalanan bisa dilanjutkan
dengan ojek seharga sekitar Rp 10 ribu sampai ke Candi Sukuh. (Harga berlaku
tahun 2013.)
Untuk menuju lokasi candi atau wisata lainnya di
sana, seperti air terjun atau gua, dapat menyewa ojek penduduk dengan tarif
tawar-menawar sekitar Rp 100 ribu selama satu hari.
Where to Stay:
Di kawasan pegunungan dekat Candi Sukuh, terdapat
beberapa vila yang berlokasi sekitar beberapa ratus meter dari candi.
Kebanyakan dari vila tersebut disewa satu rumah dengan harga yang cukup mahal.
Jadi, sebaiknya menggunakan jasa homestay
(rumah penduduk) Desa Sukuh yang bertetangga persis dengan Candi Sukuh. Harga
homestay bisa tawar-menawar. Harga sewa kamar dimulai dari Rp 50 ribu hingga Rp
150 ribu per malam. Biasanya harga masih fleksibel mengingat kadang satu kamar
bisa untuk sekitar 3 orang atau menyewa ruang tamu rumah penduduk khusus untuk
rombongan. Jika bersama lebih dari satu teman, sebaiknya mulailah menawar
dengan harga Rp 50 ribu. (Harga berlaku pada tahun 2013) Jangan menawar hanya
pada satu orang. Tanyalah kepada penduduk yang lain untuk tawaran harga yang
murah dan fasilitas yang memadai.
Pastikan bentuk fisik kamar sebelum menyewa untuk
mempertimbangkan kondisi kasur, selimut, kamar mandi, dan lainnya. Biasanya
mereka akan menyediakan kopi atau teh panas dan sarapan pagi berupa mi instan
jika kita menawarnya sebagai bagian dari sewa kamar.
What to See:
Tidak berdekatan, tetapi masih dalam kabupaten yang
sama, kita bisa mengunjungi lokasi candi lainnya, yaitu Candi Planggatan (yang
terdekat sekitar 3 km dari Candi Sukuh), ada juga Candi Menggung, Candi Cetho,
dan Candi Kethek. Masih dalam satu area dengan Candi Sukuh, adalah Taman Hutan
Raya KGPAA Mangkunagoro I di mana kita bisa menikmati pemandangan menakjubkan
dari ketinggian di antara hutan pinus yang menjadi rumah kijang. Ada juga
berbagai air terjun dan goa, seperti Grojogan Sewu di Kalisoro, Air Terjun
Jumok di Ngargoyoso, Goa Cokrokembang di Anggrasmanis, dan lainnya.