Rabu, 10 April 2013

Candi Kidal


Candi Kidal: Pengabdian Jasa dan Karma Sang Raja

Menuju arah timur sekitar 28 km dari Kota Malang, kali ini kami menuju Desa Kidalrejo di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Dari nama desa yang kami tuju, mungkin sudah bisa ditebak bahwa tujuan selanjutnya adalah Candi Kidal. Dengan motor, perjalanan memang tidak mudah. Beberapa kali kami harus menepi dan bertanya arah. Tetapi pemandangan dan udara dataran tinggi yang kami lewati, membuat perjalanan jauh dan berkelok sebagai suatu kenikmatan tersendiri.



Kidal merupakan nama yang cukup tersohor. Kitab Pararaton menyebutnya sebagai tempat meninggalnya Raja Anusapati. Sementara pada Kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca (1365) menyinggungnya sebagai pendarmaan yang pernah dijejaki Hayam Wuruk. Dalam kosakata Jawa, “Kidal” memiliki arti “kiri” atau “selatan”dari asal kata “kidul.” Beberapa orang beranggapan bahwa lokasi di mana candi berada dinamakan “Kidal” karena sang raja tak lain adalah anak tiri dari Raja Singosari, Sri Ranggah Rajasa (Ken Angrok). Sedangkan arah selatan mengacu pada keberadaan candi di arah selatan agak ke kiri dari pusat Singosari. Sebagai candi pendarmaan raja, Kidal pun banyak menyimpan kisah Anusapati.

Kisah Sang Raja
Anusapati merupakan raja yang memerintah Singosari tahun 1227-1248 (atau tahun saka 1119-1170). Ia adalah putra tiri Ken Angrok dari istri Ken Dedes yang dinikahinya ketika Ken Dedes tengah mengandung Anusapati. Dari hubungannya dengan Ken Angrok, Ken Dedes memiliki 4 orang anak, dan dari istri lainnya – Ken Umang – juga dikaruniai 4 anak. Mendapat perlakuan yang berbeda dari sang ayah, Anusapati akhirnya mengetahui bahwa ia sebenarnya adalah anak dari ayah Tungul Ametung yang dibunuh oleh ayah tirinya sendiri.



Diliputi oleh rasa dendam, Anusapati pun merencanakan pembalasan dengan berkomplot bersama para abdi kerajaan untuk membunuh sang raja menggunakan pusaka Ken Angrok yang diberikan oleh Ken Dedes, yaitu keris Mpu Gandring. Setelahnya, Anusapati dikabarkan membunuh juga para abdi tersebut guna menghapus bukti. Berita kematian raja, membawa Anusapati menuju singgasana. Tetapi pula membawa kemurkaan lain. Tohjaya yang tak lain adalah saudara Anusapati (dari rahim Ken Umang), mengetahui apa yang telah dilakukan kakaknya. Dendam dan perebutan kekuasaan membuat pertempuran antar-saudara, yang kemudian menewaskan Anusapati. Peristiwa kematian berturut-turut itulah yang dianggap sebagai “Kutukan Mpu Gandring.” Meski belum begitu jelas sumbernya, namun cerita itulah yang sampai saat ini dipercaya masyarakat dan terus dikisahkan.

Cerita yang diyakini masyarakat Jawa ini tentu masih perlu diteliti mengingat usia Tohjaya masih belum bisa dipastikan. Pada sebuah silsilah yang dibuat Hasan Djafar (1978), Tohjaya memiliki keterangan tahun yang sama dengan kematian Anusapati. Apakah berarti ketika Anusapati meninggal, Tohjaya lahir – yang artinya tak mungkin ia membunuh kakaknya sendiri – atau tahun tersebut menyatakan masa kepemimpinannya? Sedangkan pada Negarakertagama, dilukiskan bahwa pada masa pemerintahan Anusapati, kerajaan menjadi makmur dengan rakyat yang sejahtera. Apalagi setelah 12 tahun kematiannya, sebuah candi telah rampung dibangun khusus untuk pendarmaan sang raja yang dikenal pula dengan sebutan Anusanatha.



Dengan segala keagungan dan keindahan Candi Kidal, kita dapat melihat bagaimana kehidupan Anusapati direpresentasikan ke dalam seni arsitektur dan cerita berupa relief pada candi yang berada di tengah-tengah pemukiman penduduk ini.

Untaian Simbol Pengorbanan, Ketulusan, Keadilan, dan Penghargaan
Entah apakah dari simbol-simbol yang terdapat pada candi, memiliki hubungan langsung terhadap Anusapati atau tidak. Namun yang pasti, kekaguman dan misteri terhadap Candi Kidal, telah membuat banyak orang yang telah mengunjunginya seolah tak mungkin menolak untuk mencoba memahami makna yang terkandung di dalamnya.



Sebagai candi pribadi, Candi Kidal memiliki corak Hindu. Tahun 1901, Belanda bernama Brumund dan JLA. Brandes sempat mengunjungi lokasi. Candi kemudian dikonstruksi oleh B. De Haan di tahun 1925. Sedangkan perbaikan yang kedua, dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tahun 1986 sampai 1990. Sekarang, candi yang terbuat dari batu andesit dengan relief ini memiliki panjang 10,8 meter, lebar 8,36 meter, dan tinggi 12,26 meter (diduga tinggi sebenarnya mencapai 17 meter). Bagian kaki candi memiliki penggambaran kehidupan dan alam manusia (Bhurloka), bagian badan mewakili langit (Bwahloka), dan puncaknya adalah Swahloka atau kahyangan. Begitulah masyarakat era Singosari menjelaskan mengenai kosmologi dari semesta dengan bahasa dan penjelasan yang sederhana, tetapi bermakna dalam.

Bukti sakralitas candi adalah ditemukannya berbagai arca dan benda-benda pusaka di sekitarnya. Selain tentu saja, kesucian bangunan candi itu sendiri yang tertuang pada berbagai bentuk makhluk-makhluk gaib dan simbol magis lainnya.

Pada bagian tangga, kita disambut oleh sepasang ular berkepala naga dengan mahkota. Ular dianggap sakral karena hewan melata ini memiliki tubuh yang membumi (grounding), sedangkan naga adalah penguasa air. Perpaduan antara samudera dan daratan yang menyusun bumi, dilukiskan oleh orang Jawa sebagai ular berkepala naga. Hewan inilah yang sekaligus menjadi pelindung (keseimbangan).

Ada motif teratai yang bermakna kebebasan jiwa, serta burung yang banyak dimaknai sebagai kedamaian dan kekuatan melawan gravitasi (terbang). Sedangkan, medalion dengan motif sulur sebagai penggambaran semesta/Tuhan (serupa simbol Chokurei pada Reiki atau perputaran galaksi bimasakti). Bunga-bunga dan tanaman rambat menghiasi hampir seluruh dinding. Secara spiritual, bunga adalah perlambang pencerahan, penyadaran, dan “kebangkitan.” Pada setiap sudut, patung singa tampak bagai menopang candi. Singa merupakan kendaraan Wisnu (setelahnya, juga dianggap sebagai hewan pengantar Buddha menuju Nirwana) yang mewakili kekuatan dan keganasan sebagai salah satu penguasa “Dunia Tengah.”

Pada badan candi, kita menemukan cerita urutan relief garuda. Ada relief yang menggambarkan garuda menggendong ular di atas kepalanya, garuda membawa Guci Amerta, dan garuda dengan seorang dewi (ibu). Guci itu tak lain adalah wadah minum para dewa. Alkisah, para dewa tengah mengaduk lautan susu “Ksirarnawa” untuk mencari amerta. Proses pengadukan itulah yang dikenal dengan nama “Samudramantana.” Dapat diduga bahwa proses tersebut merupakan proses terbentuknya semesta, yang serupa lingkaran adukan (spiral). Selain berbagai pusaka, juga keluar kuda putih dari adukan tersebut. Konon, dua dewi bersaudara – Dewi Winata dan Dewi Kadru – bermain tebakan mengenai kuda yang akan keluar. Siapa yang gagal menebak, akan menjadi budak. Winata menebak kuda berwarna putih, sementara Kadru menduga kuda putih berekor hitam yang akan keluar. Ular-ular – anak-anak yang nakal dari Dewi Kadru – melihat lebih dulu bahwa kuda putihlah yang hendak keluar. Tak ingin sang ibu menjadi budak, disemburkanlah bisa pada kuda, sehingga ekornya berubah menjadi hitam. Tak tega melihat Dewi Winata menjadi budak, maka garuda (anak Winata bernama Garudheya) mengorbankan dirinya menjadi budak bagi Dewi Kadru dan ular-ular. Karena tak tega dengan garuda, para ular pun menawarkan perjanjian agar garuda mengambilkan Guci Amerta untuk bebas dari perbudakan. Garuda pun terbang menuju kahyangan dan bertarung melawan para dewa demi sebuah guci. Sayang, ia dikalahkan Wisnu. Mendengar kisah garuda, Wisnu tergugah untuk memberikan guci sebagai bentuk pembebasan terhadap perbudakan dan kecurangan. Rasa terima kasih, diberikan garuda dengan menjadi kendaraan bagi Dewa Wisnu.

Relief tersebut khusus dibaktikan pada Raja Anusapati yang konon begitu adil melawan kecurangan serta perbudakan. Selama masa pemerintahannya, rakyat begitu makmur. Tak heran, ia diibaratkan layaknya Siwa Guru.

Pada bagian atas pintu candi yang berukir sulur, terdapat Kala (Banaspati) guna menolak bala. Ada pula motif “Pohon Hayat” atau Parijata yang serupa Flower of Life, bermakna sebagai siklus kehidupan setelah kematian menuju pencerahan Nirwana. Bunga mencerminkan pencerahan, yang dihiasi dengan burung, serta wajah manusia berbadan burung (manusia yang telah terbang): sebuah kekuatan baru dan kelahiran kembali.

Dahulu, pada bagian kiri, adalah Arca Mahakala atau Dewa Perusak dengan sosok raksasa membawa garda dengan rambut gimbal dan ular. Di sisi kanan, ada Nandicwara, yaitu lembu yang menjadi kendaraan Siwa dengan rupa manusia membawa trisula. Sedangkan pada relung utara, Arca Durgamahisasuramardini (Dewi Parwati) berdiri di atas kerbau (jelmaan raksasa yang telah dikalahkan). Dewi Durga adalah Dewi Kematian yang biasanya memiliki tangan banyak (berjumlah genap) dengan berbagai senjata. Di belakang candi, adalah Ganesha (pemimpin kaum gajah atau anak Siwa yang turun ke bumi, wajahnya hancur terkena pancaran kagum Dewa Sani yang kemudian diganti Wisnu dengan gajah sebagai simbol kebesaran). Ganesha, Dewa Ilmu Pengetahuan, biasanya bertangan genap (membawa kapak, mangkuk madu, tasbih) dengan gading patah sebelah.



Bagian selatan, diprediksi bersemayam Siwa Mahaguru sebagai perwujudan Anusapati dengan sikap “lingga mudra” (telapak tangan di atas tangan kiri yang terbuka). Kini, patung tersebut berada di Museum Royal Tropical Institute di Belanda.

Tak hanya dihiasi dengan ragam relief yang indah, menurut sebuah sumber, dulu di setiap pojok candi dihiasi dengan batu berlian. Saat ini, atap candi telah runtuh sebagian. Dengan bentuk kubus yang semakin meruncing di bagian atas, menampakkan corak geometris yang indah. Pula sakral dan begitu spiritual. Kisah Raja Anusapati masih tetap menjadi misteri, namun keagungan yang tersimpan pada Candi Kidal adalah sebuah rasa yang nyata dapat kita nikmati.

Sumber:
Candi Kidal (2008) Malang. (Sebuah foto kopi mengenai profil Candi Kidal yang didapatkan dari pos informasi.)
Tolle, Eckhart (2006) A New Earth: Awakening to Your Life’s Purpose. USA: Plume.

Tips Perjalanan:
Candi Kidal terletak sekitar 28 km dari Kota Malang. Nyaris tidak ada kendaraan berupa angkutan umum untuk menuju ke sana. Sebaiknya, perjalanan menggunakan motor dari Kota Malang menuju Desa Kidalrejo. Candi Kidal berada sekitar 50 m dari jalan raya desa. Jangan segan untuk terus bertanya arah menuju Desa Kidalrejo sepanjang perjalanan.

Tidak tarif standar untuk mengakses Candi Kidal, jadi sebaiknya berilah donasi secukupnya kepada penjaga/juru kunci candi.

Karena candi msaih dianggap sebagai tempat yang sakral, jadi bersikaplan sopan dan menghargai candi dengan tidak sembarangan menaiki candi (karena juga akan merusak struktur bangunan), tidak membuang sampah, berpakaian sopan, dan bersikap hormat dan santun terhadap juru kunci yang telah berusia lanjut.