Candi
Kidal: Pengabdian Jasa dan Karma Sang Raja
Menuju arah timur sekitar 28 km dari
Kota Malang, kali ini kami menuju Desa Kidalrejo di Kecamatan Tumpang,
Kabupaten Malang. Dari nama desa yang kami tuju, mungkin sudah bisa ditebak
bahwa tujuan selanjutnya adalah Candi Kidal. Dengan motor, perjalanan memang
tidak mudah. Beberapa kali kami harus menepi dan bertanya arah. Tetapi
pemandangan dan udara dataran tinggi yang kami lewati, membuat perjalanan jauh
dan berkelok sebagai suatu kenikmatan tersendiri.
Kidal merupakan nama yang cukup
tersohor. Kitab Pararaton menyebutnya sebagai tempat meninggalnya Raja
Anusapati. Sementara pada Kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca
(1365) menyinggungnya sebagai pendarmaan yang pernah dijejaki Hayam Wuruk.
Dalam kosakata Jawa, “Kidal” memiliki arti “kiri” atau “selatan”dari asal kata
“kidul.” Beberapa orang beranggapan bahwa lokasi di mana candi berada dinamakan
“Kidal” karena sang raja tak lain adalah anak tiri dari Raja Singosari, Sri
Ranggah Rajasa (Ken Angrok). Sedangkan arah selatan mengacu pada keberadaan
candi di arah selatan agak ke kiri dari pusat Singosari. Sebagai candi
pendarmaan raja, Kidal pun banyak menyimpan kisah Anusapati.
Kisah
Sang Raja
Anusapati merupakan raja yang memerintah
Singosari tahun 1227-1248 (atau tahun saka 1119-1170). Ia adalah putra tiri Ken
Angrok dari istri Ken Dedes yang dinikahinya ketika Ken Dedes tengah mengandung
Anusapati. Dari hubungannya dengan Ken Angrok, Ken Dedes memiliki 4 orang anak,
dan dari istri lainnya – Ken Umang – juga dikaruniai 4 anak. Mendapat perlakuan
yang berbeda dari sang ayah, Anusapati akhirnya mengetahui bahwa ia sebenarnya
adalah anak dari ayah Tungul Ametung yang dibunuh oleh ayah tirinya sendiri.
Diliputi oleh rasa dendam, Anusapati pun
merencanakan pembalasan dengan berkomplot bersama para abdi kerajaan untuk membunuh
sang raja menggunakan pusaka Ken Angrok yang diberikan oleh Ken Dedes, yaitu
keris Mpu Gandring. Setelahnya, Anusapati dikabarkan membunuh juga para abdi
tersebut guna menghapus bukti. Berita kematian raja, membawa Anusapati menuju
singgasana. Tetapi pula membawa kemurkaan lain. Tohjaya yang tak lain adalah
saudara Anusapati (dari rahim Ken Umang), mengetahui apa yang telah dilakukan
kakaknya. Dendam dan perebutan kekuasaan membuat pertempuran antar-saudara,
yang kemudian menewaskan Anusapati. Peristiwa kematian berturut-turut itulah
yang dianggap sebagai “Kutukan Mpu Gandring.” Meski belum begitu jelas
sumbernya, namun cerita itulah yang sampai saat ini dipercaya masyarakat dan
terus dikisahkan.
Cerita yang diyakini masyarakat Jawa ini
tentu masih perlu diteliti mengingat usia Tohjaya masih belum bisa dipastikan.
Pada sebuah silsilah yang dibuat Hasan Djafar (1978), Tohjaya memiliki
keterangan tahun yang sama dengan kematian Anusapati. Apakah berarti ketika
Anusapati meninggal, Tohjaya lahir – yang artinya tak mungkin ia membunuh
kakaknya sendiri – atau tahun tersebut menyatakan masa kepemimpinannya?
Sedangkan pada Negarakertagama, dilukiskan bahwa pada masa pemerintahan
Anusapati, kerajaan menjadi makmur dengan rakyat yang sejahtera. Apalagi
setelah 12 tahun kematiannya, sebuah candi telah rampung dibangun khusus untuk
pendarmaan sang raja yang dikenal pula dengan sebutan Anusanatha.
Dengan segala keagungan dan keindahan
Candi Kidal, kita dapat melihat bagaimana kehidupan Anusapati direpresentasikan
ke dalam seni arsitektur dan cerita berupa relief pada candi yang berada di
tengah-tengah pemukiman penduduk ini.
Untaian
Simbol Pengorbanan, Ketulusan, Keadilan, dan Penghargaan
Entah apakah dari simbol-simbol yang
terdapat pada candi, memiliki hubungan langsung terhadap Anusapati atau tidak.
Namun yang pasti, kekaguman dan misteri terhadap Candi Kidal, telah membuat
banyak orang yang telah mengunjunginya seolah tak mungkin menolak untuk mencoba
memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Sebagai candi pribadi, Candi Kidal
memiliki corak Hindu. Tahun 1901, Belanda bernama Brumund dan JLA. Brandes
sempat mengunjungi lokasi. Candi kemudian dikonstruksi oleh B. De Haan di tahun
1925. Sedangkan perbaikan yang kedua, dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tahun
1986 sampai 1990. Sekarang, candi yang terbuat dari batu andesit dengan relief
ini memiliki panjang 10,8 meter, lebar 8,36 meter, dan tinggi 12,26 meter
(diduga tinggi sebenarnya mencapai 17 meter). Bagian kaki candi memiliki
penggambaran kehidupan dan alam manusia (Bhurloka), bagian badan mewakili
langit (Bwahloka), dan puncaknya adalah Swahloka atau kahyangan. Begitulah
masyarakat era Singosari menjelaskan mengenai kosmologi dari semesta dengan bahasa
dan penjelasan yang sederhana, tetapi bermakna dalam.
Bukti sakralitas candi adalah
ditemukannya berbagai arca dan benda-benda pusaka di sekitarnya. Selain tentu
saja, kesucian bangunan candi itu sendiri yang tertuang pada berbagai bentuk
makhluk-makhluk gaib dan simbol magis lainnya.
Pada bagian tangga, kita disambut oleh
sepasang ular berkepala naga dengan mahkota. Ular dianggap sakral karena hewan
melata ini memiliki tubuh yang membumi (grounding),
sedangkan naga adalah penguasa air. Perpaduan antara samudera dan daratan yang
menyusun bumi, dilukiskan oleh orang Jawa sebagai ular berkepala naga. Hewan
inilah yang sekaligus menjadi pelindung (keseimbangan).
Ada motif teratai yang bermakna
kebebasan jiwa, serta burung yang banyak dimaknai sebagai kedamaian dan
kekuatan melawan gravitasi (terbang). Sedangkan, medalion dengan motif sulur
sebagai penggambaran semesta/Tuhan (serupa simbol Chokurei pada Reiki atau
perputaran galaksi bimasakti). Bunga-bunga dan tanaman rambat menghiasi hampir
seluruh dinding. Secara spiritual, bunga adalah perlambang pencerahan,
penyadaran, dan “kebangkitan.” Pada setiap sudut, patung singa tampak bagai
menopang candi. Singa merupakan kendaraan Wisnu (setelahnya, juga dianggap
sebagai hewan pengantar Buddha menuju Nirwana) yang mewakili kekuatan dan
keganasan sebagai salah satu penguasa “Dunia Tengah.”
Pada badan candi, kita menemukan cerita
urutan relief garuda. Ada relief yang menggambarkan garuda menggendong ular di
atas kepalanya, garuda membawa Guci Amerta, dan garuda dengan seorang dewi
(ibu). Guci itu tak lain adalah wadah minum para dewa. Alkisah, para dewa
tengah mengaduk lautan susu “Ksirarnawa” untuk mencari amerta. Proses
pengadukan itulah yang dikenal dengan nama “Samudramantana.” Dapat diduga bahwa
proses tersebut merupakan proses terbentuknya semesta, yang serupa lingkaran
adukan (spiral). Selain berbagai pusaka, juga keluar kuda putih dari adukan
tersebut. Konon, dua dewi bersaudara – Dewi Winata dan Dewi Kadru – bermain
tebakan mengenai kuda yang akan keluar. Siapa yang gagal menebak, akan menjadi
budak. Winata menebak kuda berwarna putih, sementara Kadru menduga kuda putih
berekor hitam yang akan keluar. Ular-ular – anak-anak yang nakal dari Dewi
Kadru – melihat lebih dulu bahwa kuda putihlah yang hendak keluar. Tak ingin
sang ibu menjadi budak, disemburkanlah bisa pada kuda, sehingga ekornya berubah
menjadi hitam. Tak tega melihat Dewi Winata menjadi budak, maka garuda (anak
Winata bernama Garudheya) mengorbankan dirinya menjadi budak bagi Dewi Kadru
dan ular-ular. Karena tak tega dengan garuda, para ular pun menawarkan
perjanjian agar garuda mengambilkan Guci Amerta untuk bebas dari perbudakan.
Garuda pun terbang menuju kahyangan dan bertarung melawan para dewa demi sebuah
guci. Sayang, ia dikalahkan Wisnu. Mendengar kisah garuda, Wisnu tergugah untuk
memberikan guci sebagai bentuk pembebasan terhadap perbudakan dan kecurangan.
Rasa terima kasih, diberikan garuda dengan menjadi kendaraan bagi Dewa Wisnu.
Relief tersebut khusus dibaktikan pada
Raja Anusapati yang konon begitu adil melawan kecurangan serta perbudakan.
Selama masa pemerintahannya, rakyat begitu makmur. Tak heran, ia diibaratkan
layaknya Siwa Guru.
Pada bagian atas pintu candi yang
berukir sulur, terdapat Kala (Banaspati) guna menolak bala. Ada pula motif
“Pohon Hayat” atau Parijata yang serupa Flower of Life, bermakna sebagai siklus
kehidupan setelah kematian menuju pencerahan Nirwana. Bunga mencerminkan
pencerahan, yang dihiasi dengan burung, serta wajah manusia berbadan burung
(manusia yang telah terbang): sebuah kekuatan baru dan kelahiran kembali.
Dahulu, pada bagian kiri, adalah Arca
Mahakala atau Dewa Perusak dengan sosok raksasa membawa garda dengan rambut
gimbal dan ular. Di sisi kanan, ada Nandicwara, yaitu lembu yang menjadi
kendaraan Siwa dengan rupa manusia membawa trisula. Sedangkan pada relung
utara, Arca Durgamahisasuramardini (Dewi Parwati) berdiri di atas kerbau
(jelmaan raksasa yang telah dikalahkan). Dewi Durga adalah Dewi Kematian yang
biasanya memiliki tangan banyak (berjumlah genap) dengan berbagai senjata. Di
belakang candi, adalah Ganesha (pemimpin kaum gajah atau anak Siwa yang turun
ke bumi, wajahnya hancur terkena pancaran kagum Dewa Sani yang kemudian diganti
Wisnu dengan gajah sebagai simbol kebesaran). Ganesha, Dewa Ilmu Pengetahuan,
biasanya bertangan genap (membawa kapak, mangkuk madu, tasbih) dengan gading
patah sebelah.
Bagian selatan, diprediksi bersemayam
Siwa Mahaguru sebagai perwujudan Anusapati dengan sikap “lingga mudra” (telapak
tangan di atas tangan kiri yang terbuka). Kini, patung tersebut berada di
Museum Royal Tropical Institute di Belanda.
Tak hanya dihiasi dengan ragam relief
yang indah, menurut sebuah sumber, dulu di setiap pojok candi dihiasi dengan
batu berlian. Saat ini, atap candi telah runtuh sebagian. Dengan bentuk kubus
yang semakin meruncing di bagian atas, menampakkan corak geometris yang indah.
Pula sakral dan begitu spiritual. Kisah Raja Anusapati masih tetap menjadi
misteri, namun keagungan yang tersimpan pada Candi Kidal adalah sebuah rasa
yang nyata dapat kita nikmati.
Sumber:
Candi Kidal (2008) Malang.
(Sebuah foto kopi mengenai profil Candi Kidal yang didapatkan dari pos
informasi.)
Tolle,
Eckhart (2006) A New Earth: Awakening to
Your Life’s Purpose. USA: Plume.
Tips
Perjalanan:
Candi Kidal terletak sekitar 28 km dari
Kota Malang. Nyaris tidak ada kendaraan berupa angkutan umum untuk menuju ke
sana. Sebaiknya, perjalanan menggunakan motor dari Kota Malang menuju Desa
Kidalrejo. Candi Kidal berada sekitar 50 m dari jalan raya desa. Jangan segan
untuk terus bertanya arah menuju Desa Kidalrejo sepanjang perjalanan.
Tidak tarif standar untuk mengakses Candi
Kidal, jadi sebaiknya berilah donasi secukupnya kepada penjaga/juru kunci
candi.
Karena candi msaih dianggap sebagai
tempat yang sakral, jadi bersikaplan sopan dan menghargai candi dengan tidak
sembarangan menaiki candi (karena juga akan merusak struktur bangunan), tidak
membuang sampah, berpakaian sopan, dan bersikap hormat dan santun terhadap juru
kunci yang telah berusia lanjut.