Kompleks
Percandian Batujaya: Jejak Peradaban
Agung di Jawa Barat
Tak banyak memang penemuan candi di
lokasi Jawa Barat seperti halnya di kawasan Jawa Tengah, Jogja, maupun Jawa
Timur. Tetapi, bukan berarti tidak ada. Apalagi mengecilkan nilai sejarah-budaya
dari Jawa Barat itu sendiri yang sebenarnya memiliki peradaban yang tak kalah
pentingnya dari kawasan lain di Nusantara, pula perannya bagi hubungan dan
perdagangan internasional berabad-abad silam.
Kali ini, kami bertolak menuju kawasan
yang dikenal sebagai salah satu lumbung padi Jawa Barat, yaitu Karawang. Dari
Jakarta, akses dan transportasi publik menuju Karawang, tidaklah sulit.
Pagi-pagi sekali, kami berangkat dengan bus menuju Karawang. Sepanjang
perjalanan, kami disuguhkan dengan pemandangan berupa hamparan sawah yang telah
menguning. Para petani pun tampak sibuk memotong padi.
Kompleks Percandian Batujaya mencakup
area seluas 5 km2 di wilayah administrasi Desa Segaran, Kec.
Batujaya dan Desa Telukbuyung, Kec. Pakisjaya (semula Desa Telagajaya, Kec.
Batujaya) Kab. Karawang, Jawa Barat. Terdapat lebih dari 20 reruntuhan bangunan
bata yang meliputi persawahan dan perkampungan penduduk. Sebagian besar situs
masih berupa gundukan tanah berupa bukit-bukit kecil dengan tinggi 1-4 meter,
yang oleh penduduk sekitar kerap disebut unur
(bukit kecil) dan dianggap keramat. Berbeda dengan candi lain yang biasanya
ditemukan dan direkonstruksi oleh Belanda pada masa kolonialisme, Percandian
Batujaya pertama kali ditemukan tahun 1984 oleh tim Jurusan Arkeologi Fakultas
Ilmu Budaya, Univ. Indonesia (UI).
Candi
Jiwa
Udara yang panas dan kering terbawa oleh
hembusan angin hingga terasa di kulit kami. Begitu sampai di pintu masuk lokasi
percandian, kami mengisi buku kehadiran. Tak ada tiket masuk, hanya donasi seikhlasnya.
Untuk menuju lokasi candi yang terletak di tengah-tengah persawahan, kami hanya
tinggal mengikuti sebuah jalan setapak terbuat dari beton yang menghubungkan
pengunjung dan candi.
Sebelumnya, masyarakat menyebutnya
sebagai Unur Jiwa (Bukit Jiwa). Kini, menjadi Candi Jiwa, terletak tak jauh
dari tempat kami mengisi buku tamu. Unur yang semula ditumbuhi pohon pisang dan
palawija ini merupakan yang pertama kali mengalami ekskavasi tahun 1985 oleh
tim arkeologi dari UI.
Saat ini, Candi Jiwa tak lagi utuh,
namun menyisakan bagian kaki berupa persegi dengan ukuran 19 x 19 m (diamond shape) dengan tinggi yang
tersisa sekitar 4,7 m dan terbuat seluruhnya dari bata merah. Meski telah
berwarna redup agak kehitaman, namun warnanya yang kontras di antara sawah,
membuatnya terlihat begitu spesial dan menyala di bawah terik langit yang biru.
Tak ada tangga pada Candi Jiwa.
Bentuknya yang bujur sangkar (wajik) mengingatkan kami pada Candi Sumberawan.
Pada bagian atas, terdapat sisa lingkaran berdiameter 6 m yang diduga adalah
bentuk stupa yang kini telah hilang. Di sinilah biasanya tersimpan relik
Buddha, sehingga memiliki makna spiritual yang tinggi. Keberadaan stupa juga menguatkan
fungsi candi sebagai bangunan sakral pemujaan, sekaligus coraknya yang
berlanggam Buddha. Biasanya, peribadatan yang dilakukan untuk tipe candi stupa
adalah berupa pradaksina, yaitu
berjalan mengelilingi candi (yang menjadi patha
atau garis edar) sebanyak tiga kali searah jarum jam sambil membaca sutra dan
mantra (doa). Ritual kuno ini masih dilakukan hingga sekarang. Pada Perayaan
Trisuci Waisak, umat Buddha kerap datang kemari untuk melakukan pradaksina.
Sejumlah inskripsi berbahasa Palawa dan Sansekerta juga ditemukan di
sekitarnya. Sebagian adalah bata, sebagian lainnya berupa lempengan emas yang
menuturkan Karma dan Dharma.
Candi
Blandongan
Cuaca hari itu begitu cerah. Angin masih
terasa hangat dan awan putih mengepul pada langit biru. Kami melanjutkan
berjalan mengikuti jalan setapak berbeton di tengah sawah. Di ujung sana, adalah
Candi Blandongan. Warnanya merah pada bangunan batu bata tersebut begitu
terlihat menonjol, juga megah. Ukurannya tampak jauh lebih besar dari Candi
Jiwa.
Candi yang disebut masyarakat sekitar
sebagai Unur Blandongan ini juga tidak menyisakan bangunan yang utuh. Denah
bujur sangkar pada bagian kaki berukuran 25 x 25 m, sedangkan sisa bagian
tengah hanya 10 x 10 m. Pada setiap sisi candi, terdapat tangga naik dan pada
badan candi juga terdapat lantai yang dilapisi dengan beton stuko (serta adukan
kerikil). Tidak hanya lantai, pada bagian dinding ditemukan pula lepa stuko.
Candi Blandongan merupakan satu-satunya
candi di Batujaya yang masih memiliki bagian badan candi. Di sekitarnya, telah
ditemukan banyak sekali peninggalan berupa, perhiasan, materai terakota,
gerabah, serta inskripsi dengan corak yang mirip dengan seni patung dan pahat
pada situs maupun candi di Nandala. Beberapa patung yang menggambarkan sosok
Buddha pun memiliki kemiripan dengan sosok Buddha di kawasan Thailand.
Pada bagian-bagian tertentu, para
peneliti menemukan adanya relung-relung yang kemungkinan adalah struktur kayu
untuk tiang, pintu, dan jendela. Kemungkinan ini diperkuat dengan ditemukannya
sisa-sisa arang yang membawa pada kesimpulan bahwa candi pernah mengalami
kebakaran dan kemudian dibangun kembali (fase kedua diduga sekitar 980 M) seperti
bentuknya yang sekarang berupa penebalan bagian kaki, penambahan tangga, dan
peninggian candi. Selain sisa pembakaran kayu, ternyata terdapat pula sisa
pembakaran padi yang membuktikan kehidupan agraris masa itu.
Seorang pedagang makanan kecil dan
minuman dingin di dekat Candi Jiwa, sempat bercerita pada kami mengenai adanya
penampakan sosok dewi yang muncul bersama para pengikutnya di Candi Blandongan.
Namun, kisah-kisah mistis dan spiritual di kawasan Percandian Batujaya, tak
lagi diceritakan karena benturan pada nilai-nilai agama yang kini dianut. Meski
tak ada sistem keamanan yang ketat, tapi warga sekitar tak ada yang berani
mengambil bagian candi apalagi benda-benda berharga lainnya yang ditemukan di
sekitar candi. Hal ini disebabkan, sebelumnya banyak orang yang mengambil atau
memindahkannya, kerap tertimpa bencana, mulai dari sakit, kecelakaan, hingga
meninggal dunia. Sehingga, masyarakat percaya untuk melindungi berbagai candi
dan situs dengan tetap membiarkannya seperti apa adanya.
Berbekal petunjuk dari satu-satunya
pedagang kecil tersebut, lalu kami memberanikan diri untuk keluar dari jalan
setapak beton dan berjalan menembus persawahan menuju situs candi lainnya.
Saat itu, persawahan di sekitar candi
tengah mengalami gagal panen. Tanahnya mengering agak keras dan bulir-bulir pada
menjadi kosong. Pada tepian sawah, kami menuju Situs Segaran II (Unur Lempeng)
yang berupa gundukan kecil yang ditanami pohon kelapa, pisang, dan rumput. Di
sini, kami menemukan banyak sekali bata dan batu berserakan di mana-mana, juga
terdapat sumur tua dengan air yang sangat jernih dan segar.
Berjalan lurus ke arah barat, kami
kembali menembus persawahan di mana kami menemukan lagi sebuah candi. Masyarakat
menyebutnya Unur Serut. Candi terbuat dari bata dan menyisakan bagian kaki yang
tergenang air. Lokasinya bersebelahan dengan rumah penduduk. Sejumlah bebek
berlarian dari genangan air pada candi ketika kami mendekat. Masih dengan rasa
penasaran, kami pun bertanya pada seorang perempuan paruh baya yang kami temui
mengenai lokasi lain dari situs-situs percandian. Ia pun mengantar kami untuk
berjalan lurus saja ke arah barat mengikuti jalan setapak desa yang bertanah
dan – yang membuat kami kaget pada sisi jalan tertentu – berbata merah besar
mirip lantai candi.
Kami menemukan lagi sumur kecil tua
berdinding bata, serta unur-unur lainnya yang menyatu dengan persawahan,
pemakaman, bahkan rumah-rumah penduduk.
Sebaran yang sporadis dan terkesan tak
berpola pada Kompleks Percandian Batujaya ternyata memiliki kemiripan dengan
Kompleks Percandian Muarajambi dan Kompleks Wihara Anuradhapura di Sri Lanka.
Dari analisis stratigrafi di sana, lokasi percandian ternyata mencakup dan
menggambarkan 4 strata budaya: pra-sejarah, peralihan, Hindu-Buddha, dan
paska-Hindu-Buddha.
Era pra-sejarah ditandai dengan penemuan
budaya Buni, yaitu masyarakat yang pertama kali berada di pantai utara Pulau
Jawa bagian barat. Kesenian pada mas ini adalah kreasi gerabah yang banyak ditemukan
di sekitar lokasi percandian. Masa perundagian di Batujaya diduga sekitar 1.000
SM hingga 500 M. Sedangkan masa peralihan menjadi titik dimulainya kontak
masyarakat Buni dengan budaya India (yang kental dengan nuansa Hindu-Buddha) di
mana akulturasi kemudian berproses sekitar abad ke-2 hingga ke-4. Memasuki
periode Hindu-Buddha, memunculkan kelahiran kerajaan tertua di Jawa:
Tarumanagara tahun 450 (sekitar abad ke-5). Keterkaitan Tarumanagara pada fase
kedua (sekitar abad ke-8) dengan kebudayaan dan spiritualitas Buddha, menguat
dengan adanya corak kesenian Nalanda yang kemungkinan masuk melalui Sriwijaya
sebagai pusat ajaran Buddha,sekaligus kerajaan maritim terbesar di Asia
Tenggara. Tarumanagara adalah pintu masuk bagi Sriwijaya memperluas kekuasaan
(juga sebaran pengaruh Buddha).
Menarik. Meski mungkin sebagian
pengunjung merasa tak begitu antusias atau kecewa dengan bangunan candi yang
tak utuh dan masih berupa reruntuhan, bahkan gundukan tanah saja, namun
kekayaan sejarah yang terkandung pada Kompleks Percandian Batujaya menjadi
bukti nyata keagungan peradaban masyarakat Jawa Barat. Bagi kami, keindahan dan
makna dalam pada candi-candi di sini, memiliki definisinya tersendiri yang
membuatnya berbeda dari candi lainnya di Nusantara.
Aliran Sungai Citarum yang berada di
dekat candi, hingga saat ini masih lekat dengan kehidupan agraris masyarakat
Karawang. Perjalan pulang kami kembali dihiasi dengan hamparan sawah dan
kesibukan para petani memasuki masa panen. Beberapa kali, kami melihat keramaian
di pinggir jalan berupa arak-arakan anak kecil yang habis disunat duduk di atas
sisingaan sambil diiringi musik tradisional serta akrobat dan tari-tarian. (Nurdiyansah)
What to see:
-
Selain
berbagai situs yang sarat makna sejarah dan budaya, tak banyak hal bisa kita
kunjungi di sekitar Kompleks Percandian Batujaya. Karena lokasinya yang
sporadis, kunjungan ke berbagai situs percandian memerlukan petunjuk masyarakat
sekitar. Meski hanya berupa reruntuhan bata, namun karena lokasinya yang berada
di tengah persawahan, perjalanan ke situs-situs tersebut menjadi menarik karena
bersentuhan dengan kehidupan agraris Karawang.
-
Tak
jauh dari lokasi pengisian buku tamu, terdapat sebuah museum kecil bernama
Museum Batujaya. Meski hanya memiliki sebuah ruang pamer, namun museum tetap
memiliki peran dan fungsi yang penting sebagai tempat penyimpanan benda-benda
percandian dan penafsiran kehidupan masyarakat Batujaya di masa lalu.
How to get there:
-
Dengan
kendaraan umum, perjalanan menuju Batujaya, Karawang dapat menggunakan bus
apapun yang menuju Karawang, salah satunya adalah Bus Agra (warna merah) non-AC
jurusan Tanjung Priuk-Karawang dengan ongkos Rp 9 ribu. Sesampainya di lingkar
(lampu merah) Terminal Tanjung Pura, perjalanan dilanjutkan dengan angkutan
kecil yang menuju terminal dengan ongkos Rp 1.000 atau bisa jalan kaki. Dari
terminal, naik angkutan jurusan Rengasdengklok (Rp 5 ribu) hingga Pasar
Dengklok di mana bisa kita temukan angkutan ke Batujaya hingga kendaraan
berakhir. Kemudian dilanjutkan dengan naik ojek (Rp 10 ribu) menuju kompleks
percandian Batujaya. Total perjalanan (dilakukan pada hari Minggu pagi dan
tanpa macet) sekitar 4 jam. Penghambat perjalanan dengan kendaraan umum adalah
kebiasaan angkutan untuk “ngetem” (menunggu penumpang hingga penuh).
-
Alternatif
lain adalah melalui rute Cikarang (hanya sekitar 3 jam, saat hari Minggu tanpa
macet). Dari Jakarta, perjalanan ditempuh dengan menaiki bus apa saja menuju
Cikarang, salah satunya bus Mayasaribakti Patas 121 jurusan Blok-M-Cikarang (Rp
9 ribu). Dari terminal dilanjutkan dengan mini bus “elep” menuju Jl. Baru,
Batujaya (Rp 10 ribu), lalu ojek ke kompleks percandian Batujaya (Rp 10 ribu).
-
Untuk
memastikan jalur dan angkutan setelahnya, sebaiknya bertanya kepada penumpang,
kenek, atau supir agar tidak terlewat dan tahu tepatnya lokasi di mana akan
naik kendaraan selanjutnya.