Selasa, 09 April 2013

Candi Cangkuang


Candi Cangkuang: Transformasi Spiritualitas di Tanah Sunda

Selain Kompleks Percandian Batujaya dengan corak Buddha, terdapat lagi sebuah candi tunggal yang berdiri di Jawa Barat. Candi tersebut adalah Candi Cangkuang yang hingga kini merupakan satu-satunya candi yang masih ada di Tanah Sunda dengan aliran Hindu.

Candi Cangkuang memang unik dan telah sejak lama kami merencanakan untuk berkunjung. Lokasinya tidak terlalu jauh dari Ibukota, yaitu di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Dari Jakarta, perjalanan menuju Leles memakan waktu sekitar 3,5 jam dengan rute tol Cipularang (Cikampek-Purwakarta-Padalarang) melewati Cileunyi, Bandung. Bersama dua orang kawan, kami bertiga menjelajah Candi Cangkuang di Garut melalui kendaraan umum dari Jakarta.



Keindahan yang Sakral di antara 6 Gunung
Sabtu pagi itu, sengaja kami berangkat pagi-pagi sekali untuk menghindari kemacetan. Jalan tol lancar dan ketika kami memasuki Garut, rasa lelah dan bosan di dalam bus berangsur terobati dengan pemandangan yang dihiasi oleh hamparan sawah. Padi telah menguning dan petani tampak tengah memanennya. Kami turun di sekitar alun-alun Kecamatan Leles. Di persimpangan, kami memilih melanjutkan perjalanan dengan andong/delman ketimbang ojek. Sebagai transportasi yang juga diperuntukkan bagi warga lokal, tentu saja kami berbagi ruang dengan beberapa penduduk. Tempat duduk menjadi agak sempit, tapi sepanjang perjalanan kami jadi banyak mengobrol tentang kehidupan di Desa Cangkuang ini yang sebagian besar juga adalah petani. Jalanan desa yang tak begitu lebar, membuat mobil di belakang harus mengalah dengan kami yang berkuda.



Suasana desa masih begitu asri. Para orangtua sibuk menyiapkan panen, sementara yang muda kebanyakan bekerja menjadi pengendara delman atau ojek. Hanya butuh sekitar 15 menit untuk sampai di gerbang objek wisata Candi Cangkuang. Jajaran pedagang sovenir berbaris sepanjang sisi menuju loket tiket, mulai dari replika candi, hingga boneka domba.

Candi Cangkuang berada di tengah Pulau Panjang yang dikelilingi perairan berupa danau yang bernama Situ Cangkuang. Untuk mencapainya, kami harus mengendarai rakit bambu tradisional bersama para pengunjung lain. Pada bagian kiri dan kanan danau, terdapat hamparan teratai. Sayangnya, kami tak beruntung hari itu karena bunga teratai tidak sedang mekar di musim hujan, namun hal itu tak mengurangi keindahan panorama sekitar candi. Situ Cangkuang masih bersih. Pada cuaca cerah seperti ini, kami dapat melihat dengan jelas pantulan rindang pepohonan di Pulau Panjang, juga siluet gunung yang mengelilinginya pada permukaan danau.



Udaranya begitu sejuk dan segar, rasanya sangat tenang ketika rakit mulai didorong menuju Pulau Panjang. Seorang pria setengah baya yang mendorongnya tampak begitu sehat dan kuat, diikuti bocah lelaki yang ikut-ikutan belajar mendorong menggunaka sebatang bambu besar dengan kompak bersama ayahnya. Saya bertanya padanya tentang gunung-gunung yang mengelilingi candi. Selain indah, lokasi ini pula bernuansa sakral. Di ujung sana, Candi Cangkuang menghadap Gunung Gede yang diapit oleh Gunung Guntur dan Gunung Kaledong atau Mandalawangi, katanya. Sementara pada sisi pulau adalah Gunung Haruman (kanan) dan Cikuray (kiri), serta membelakangi Gunung Ciremai (sumber lain menyebutkan Gunung Haruman, Pasir Kadaleman, Pasir Gadung, Guntur, Malang, Mandalawangi, dan Kaledong). Maka, keberadaan Candi Cangkuang tepat di pusat bintang segi enam. Menghadap ke arah tiga gunung utama, seolah menandakan Trimurti atau 3 dewa utama, yaitu Dewa Siwa, Wisnu, dan Brahma. Bagi masyarakat Sunda Kuno atau masa sebelum, saat, dan bahkan paska-Kerajaan Sunda (Sunda Wiwitan), Gunung Gede memiliki makna spiritual yang besar. Ia melambangkan keagungan, kekuatan, kehancuran, dan juga penciptaan. Metafor Dewa Siwa atau “Supreme Being” terhadap Gunung Gede tentu menjadi bukan tanpa alasan, sebab banyak kehidupan lahir, hancur, dan lahir kembali dari gunung dengan ketinggian hampir 10 ribu kaki yang menyimpan ribuan jenis keanekaragaman hayati terkaya di Pulau Jawa.



Kami berjalan mengikuti jalan setapak mengelilingi pulau. Melintasi kembali lapak dan warung-warung yang menjual sovenir dan makanan. Kemudian, memasuki kampung kecil yang hanya diisi oleh 6 rumah panggung khas Sunda (tak boleh ditambahkan atau dikurangi) yang saling berhadapan simetris dengan sebuah masjid kecil di ujungnya. Kampung adat ini bernama Kampung Pulo. Candi Cangkuang terletak di atas tangga setapak.

Menjadi Pusat Ajaran Agama Baru
Di antara rindang pepohonan besar, Candi Cangkuang tampak gagah, sekaligus feminin. Dari kejauhan, ia tampak bagai Candi Prambanan atau pura, hanya saja lebih sederhana dan polos. Tak terlihat ukiran maupun relief pada kaki, badan, dan kepala candi. Nama “Cangkuang” pada Candi Cangkuang berasal dari tanaman cangkuang (Pandanus furcatus) yang tumbuh di sekitar candi bersamaan dengan beringin. Candi Cangkuang ditemukan 9 Desember ’66 berdasarkan catatan sejarah arkeolog Belanda (laporan Vorderman tahun 1893). Proses penggaliannya memakan waktu hampir 2 tahun setelahnya. Pada 8 Desember ’76, candi selesai dipugar dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada masa itu. Hanya 40% bagian candi yang asli, sisanya adalah hasil rekonstruksi dengan tambahan andesit dan granit untuk memperkuat strukturnya.



Kini, hanya terdapat satu arca Siwa yang ditaruh di dalam candi. Bentuknya tak lagi sempurna dengan kondisi bagian pinggang yang patah. Saat ditemukan, arca berada dekat dengan nisan Embah Dalem Arif Muhammad yang terletak di sisi kiri. Dahulu, para peziarah yang berdoa selalu mencoba mengangkat arca tersebut sebagai tanda apakah permohonannya terkabul atau tidak.

Tak banyak informasi detil tentang candi yang diduga berasal dari abad ke-7 atau ke-8 masa Kerajaan Sunda I. Catatan sejarah dan kisah justru banyak terkait sosok Arif Muhammad yang kuburannya berjarak 3 meter dari candi. Beliau dikaitkan sebagai penyebar agama Islam pertama di Garut dan sekitarnya.



Arif Muhammad adalah tentara utusan Mataram yang ditugaskan untuk mengusir Belanda dari Batavia sekitar abad XVII. Kegagalannya, tak membuatnya pulang dengan tangan hampa. Bersama pengikutnya, ia justru bersembunyi area sekitar candi. Danau yang mengelilingi Pulau Panjang, dikisahkan dibuat oleh Arif Muhammad dan pengikutnya. Di sinilah ia menyebarkan agama dan membangun pusat ajaran Islam di antara masyarakat Hindu dan Buddha di Tanah Sunda. Pada museum sederhana di dekat candi, kita bisa melihat banyak temuan lembaran kitab berisi ayat-ayat Alquran dari kulit kayu. Berangsur-angsur, masa itu kuil Hindu pun berubah menjadi kawasan layaknya pesantren. Enam rumah yang ada di Kampung Pulo dulu dipakai sebagai tempat mengkaji dan mengaji Islam. Enam melambangkan 6 anak perempuan Arif Muhammad, sementara satu bangunan masjid mewakili putranya yang meninggal (total menjadi 7 bangunan). Sampai sekarang rumah tersebut masih ditinggali oleh generasi ke-8 hingga ke-10 dari keturunan sang Kyai. Uniknya, hanya perempuan-lah yang boleh memiliki rumah (hak waris).



Pak Umar sebagai penjaga candi sekaligus generasi ke-9, banyak bercerita kepada kami. Tak ada hewan ternak, terutama yang berkaki empat di Pulau Panjang. Selain alasan takut merusak sawah-ladang dan mengotori makam-makam kuno, juga karena sapi sebagai kendaraan Siwa (Nandi). Kini, hampir tak ada lagi warga Desa Cangkuang yang menganut Hindu.

Sebelum candi dipugar, telah banyak peziarah datang dengan berbagai latar belakang agama dan permohonan yang datang untuk berdoa. Bagi penduduk lokal, candi hampir tak lagi memiliki makna sakral. Doa-doa dipanjatkan kepada mendiang Embah Dalem Arif Muhammad. Meski begitu, umat Hindu dan Buddha kerap datang berdoa di candi yang dikelilingi oleh hamparan makam kuno dan dihuni oleh kelelawar raksasa.

Ritual yang masih dilakukan warga Kampung Pulo adalah pencucian pusaka dari 7 mata air (6 dari rumah dan 1 dari masjid) saat malam Maulid Nabi (12 Rabiul Awal). Banyak cerita tentang berbagai penampakkan di sekitar candi, pemakaman, maupun pohon-pohon besar di sini. Namun, warga setempat selalu memiliki banyak cara untuk melindungi warisan leluhurnya.

Hingga sekarang, bentuk sebenarnya dari Candi Cangkuang dan lingkungan kuil Hindu ini masih menjadi teka-teki yang menunggu untuk ditemukan. Sementara itu, sosok Arif Muhammad dan Candi Cangkuang merupakan sejarah yang tak dapat dipisahkan dari spiritualitas dan religiusitas masyarakat Sunda kini dan nanti, khususnya bagi orang Garut.

Sumber:
Wawancara santai dengan Pak Umar di area Candi Cangkuang pada Sabtu, 26 januari 2012.

How to travel:
-      Dari Jakarta, perjalanan dapat dilalui dengan tol Cipularang selama 3,5 jam menuju arah Cileunyi, Bandung menuju Garut.
-          Dengan kendaraan umum, menaiki bus Primajasa jurusan Lebak Bulus-Garut (AC Ekonomi) dengan tarif Rp 35 ribu. Atau dari Cileunyi, Bandung dapat menaiki bus yang sama atau kendaraan lain menuju Garut dengan tarif sekitar Rp 12 ribu. Hati-hati jika naik bus lain dari Jakarta karena bisa jadi ia tak melewati tol Cipularang dan malah memakan waktu hingga 7 jam untuk sampai Leles.
-          Sesampainya di Garut, turun di persimpangan/alun-alun Leles (tak jauh dari SMAN 2 Garut) menuju Candi Cangkuang di Desa Cangkuang. Perjalanan dapat dilanjutkan dengan andong, tarif Rp 4 ribu untuk 5 penumpang (Rp 20 ribu satu kali jalan) atau ojek Rp sekitar Rp 10-15 ribu.
-        Tarif tiket masuk hanya Rp 2 ribu untuk anak-anak/pelajar, Rp 3 ribu untuk dewasa, dan Rp 5 ribu untuk turis asing.
-      Untuk menuju Pulau Panjang menggunakan rakit dengan tarif Rp 4 ribu untuk 20 orang. Biasanya, jika kesulitan menunggu penumpang lain, dapat langsung tawar-menawar di kisaran harga Rp 45 ribu (PP dan ditunggu).
-     Hati-hati terhadap penipuan yang menawar mengantar rakit, pastikan siapa yang akan mengantar-jemput di candi.
-        Donasi untuk perawatan situs atau jasa pemandu lokal sangat disarankan, tetapi pertimbangkan untuk memberikan uang pada pengemis atau warga yang meminta-minta pada turis untuk tujuan yang tak jelas.
-        Karena menjadi area yang sakral, jagalah sikap dan hati-hati saat berkeliling di area candi agar tidak menginjak atau merusak nisan kuno.

What to see:
-          Tak jauh dari lokasi wisata Candi Cangkuang terdapat kebun binatang kecil di dekat desa. Mintalah diantar ojek atau kusir delman untuk mengantar.
-          Karena berada di dataran tinggi yang dikelilingi oleh gunung-gunung, lokasi terbaik untuk foto ada di dermaga rakit yang memberikan pantulan dan siluet panorama terbaik.
-     Di dalam Pulau Panjang di mana candi berada, terdapat Kampung Adat Pulo (area konservasi), Makam Arif Muhammad, museum sederhana, dan kompleks pemakaman kuno maupun baru.
-      Ada banyak warung yang menjajakan sovenir dan makanan. Untuk penjualan sovenir, Anda dapat menawarnya.
-        Silakan mampir di Rumah Makan Sari Cobek di Pelataran Parkir Candi Cangkuang (0262-455 557) untuk menikmati hidangan Sunda dengan nuansa saung tradisional beratap ijuk di atas kolam ikan. Suasananya begitu teduh dan tenang. Makanannya pun sangat enak dengan harga tidak terlalu mahal (Rp 21 ribu untuk nasi timbel komplit dengan teh tawar hangat). Mereka juga menyediakan penginapan per kamar atau per rumah dengan harga mulai dari Rp 400 ribu.