Candi
Brahu: Teka-Teki Ritual Pembakaran Mayat
Kemegahan Majapahit seolah tak ada
habisnya untuk ditelusuri. Berbagai candi dan benda-benda pusaka hingga saat
ini masih sering ditemukan dan terus diteliti untuk dimaknai asal-usulnya. Mereka
tersebar di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto yang dahulu menjadi Ibukota
Majapahit. Salah satu candi peninggalan kerajaan yang didirikan oleh Raden
Wijaya itu adalah Candi Brahu.
Perjalanan menuju lokasi Candi Brahu,
kami lakukan dengan menumpak becak setelah berkeliling seharian mengunjungi
lokasi-lokasi candi dan situs lainnya di sekitar Trowulan. Dari Museum
Trowulan, perjalanan dilakukan dengan kembali ke arah gapura masuk, lalu
menyebrangi jalan raya dan memasuki Desa Bejijong. Dalam perjalanan santai
sekitar 15 menit ini, jalan beraspal yang kami lewati diteduhi dengan rindah
pepohonan di kiri-kanan jalan yang pada pucuknya menyatu seolah menjadi payung.
Hamparan sawah dan perkebunan tebu juga menjadi pemandangan yang membuat mata
menjadi sedikit bersemangat.
Semakin mendekat kami mencapai lokasi,
bangunan berwarna serupa senja itu mulai memperlihatkan kepalanya yang kian
meninggi. Rindang pepohonan pula semakin menampakkan tubuhnya yang meramping.
Akhirnya, kami tiba juga di Candi Brahu. Seperti biasanya, kesan megah selalu
hadir ketika kami berdiri persis bagai menantang candi dengan hati yang tak
berani melawan.
Candi
Tertua Trowulan
Seperti langgam candi-candi lainnya di
Jawa Timur, khususnya Trowulan, Candi Brahu terbuat dari bata merah (direkatkan
dengan teknik gosok) yang tampak menyala begitu terkena sinar matahari
langsung. Meski telah berlumut di banyak sisi serta bagian yang tak utuh,
namuan kekaguman terhadap tegaknya Candi Brahu yang menjulang ke arah barat
(azimut 2270), langsung terasa ketika kami berdiri di bawahnya.
Berdiri di atas ketinggian 32,79 DPL,
candi dengan denah bujur sangkar ini, memiliki ketinggian (sekarang) 25,7 meter
dan lebar seluas 20,70 meter. Struktur bangunan terdiri kaki, badan, dan atap
dengan bingkai meliputi pelipit rata, bagian berbentuk genta dan setengah
lingkaran. Menurut penelitian, candi yang ada sekarang, berdiri di atas
bangunan sebelumnya. Ini diketahui dari kaki candi dengan struktur yang
terpisah, dugaan luas kaki bangunan sebelumnya adalah 17 x 17 meter. Candi
Brahu memiliki dua tingkat yang dapat dinaiki melalui selasar dan tangga pada
sisi barat. Sayangnya, lantai candi berada dalam kondisi rusak, dan konstruksi
yang mengarah pada bentuk sempurna, masih sulit dilakukan mengingat penelitian terhadap
bentuk asli candi masih terus diteliti serta banyak bagian yang tak bisa
ditemukan lagi. Saat ini, tak semua bata merah adalah asli, melainkan hasil
pemugaran pertama oleh Belanda tahun 1920.
Tak ada motif ataupun relief hiasan pada
badan candi. Bagian atap berbentuk lingkaran dan tak lagi utuh. Menurut dugaan,
bagian yang hilang tersebut merupakan stupa. Artinya, candi memiliki corak
Buddha. Pada lempeng Prasasti Alasantan yang dikeluarkan oleh Raja Mpu Sendok
tahun 861 Ç atau 939 (abad ke-10 M) yang ditemukan tak jauh dari lokasi candi
berada, menyebutkan adanya sebuah bangunan suci bernama Waharu atau Warahu yang
kemudian mengalami perubahan pengucapan menjadi “Brahu.” Penemuan prasasti
tersebut membuktikan bahwa usia Candi Brahu menjadi yang tertua di antara
candi-candi lainnya di Trowulan.
Lokasi
Pembakaran/Penyimpanan Abu Jenazah
Candi tak hanya berfungsi sebagai tempat
pemujaan atau penyimpanan benda-benda pusaka, tetapi pula menjadi tempat bagi
pembakaran mayat ataupun penyimpanan abu jenazah. Candi Brahu diduga kuat
merupakan salah satu candi dengan fungsi sakral tersebut.
Masyarakat sekitar percaya bahwa Candi
Brahu dahulu merupakan tempat perabuhan
atau pembakaran mayat. Meski tak ditemukan bukti arkeologis pendukung, namun
telah ditemukan sisa abu dan arang di antara struktur bata pada bilik.
Sayangnya, hasil analisa Pusat Penelitian BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional) di
Yogyakarta hanya menegaskan pertanggalan radio karbon pada arang yang diduga
berasal dari tahun 1410 sampai 1646.
Bilik Candi berada dalam keadaan kosong.
Tak ada bukti pasti apakah bilik tersebut pernah diisi oleh arca atau memang
sengaja dibuat kosong sebagai ruang pembakaran jenazah atau menyimpan abu
mayat. Sementara itu, di dinding timur, masih terdapat altar tempat menaruh
sesaji.
Di sekitar Candi Brahu, diperkirakan
masih terdapat candi-candi yang telah hilang ataupun belum ditemukan. Pada
kompleks candi, telah ditemukan berbagai benda-benda berharga yang diperkirakan
hanya dimiliki oleh keluarga kerajaan atau kaum bangsawan. Selain prasasti,
terdapat arca-arca bersifat Buddha, serta benda-benda dari emas dan perak yang
sebagian tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Jika pun dugaan itu benar bahwa
pernah dilakukan ritual pembakaran jenazah atau penyimpanan abu kremasi di
candi ini, maka semakin menguatkan Candi Brahu sebagai jenis candi stupa, yang
pula memiliki fungsi sebagai tempat ziarah atau lokasi penyimpanan relikui
Buddha, termasuk abu jenazah. Namun, tentu saja untuk membuktikan hal ini,
masih harus dilakukan berbagai penelitian lebih lanjut.
Memperhatikan bentuk Candi Brahu dengan
memandang pada bagian selasar dan tangga, ternyata candi tidak hanya memiliki
kepala berwujud stupa, tetapi juga badan candi yang meramping, memiliki wujud
mirip stupa yang berlapis-lapis. Dengan teka-teki fungsinya, Candi Brahu tetap
saja telah memiliki peran yang sangat penting mengingat usia serta tercatatnya
ia pada sebuah prasasti.
Dalam rangka menyambut 50 tahun
Kemerdekaan RI, pada 1995 lalu Candi Brahu diresmikan kembali oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI, Prof. Ing. Wardiman Djojonegoro, setelah dipugar
selama sekitar 4-5 tahun. Tentu, banyak pihak masih menunggu hasil penelitian
terbaru lainnya serta pemugaran selanjutnya. Tidak hanya sebagai kekhawatiran
pada kian tergerusnya bata merah yang menjadi material pokok candi, melainkan
pula merealisasikan mimpi terhadap bentuk asli candi yang kelak mungkin akan
menguak fungsinya pada kehidupan lampau puluhan abad silam.
Sumber:
Informasi
pada papan informasi (lembar keterangan) pada halaman dan kantor informasi
Candi Sumberawan.
Kusumawijaya,
I Made, dkk. Mengenal Kepurbakalaan
Majapahit di Daerah Trowulan. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan RI.
Tips
Perjalanan:
Untuk menuju Candi Brahu, perjalanan
dapat dimulai dari terminal bus dan angkutan umum terdekat, yaitu Terminal
Purabaya, Surabaya. Tanyalah kendaraan umum kecil menuju lokasi candi di
Trowulan dengan tarif di bawah Rp 5 ribu, atau dapat pula menaiki bus besar
antar-kota/antar-provinsi (tujuan Solo dan Jogja) yang mengarah ke Trowulan
dengan tarif (biasanya tidak selalu sama) Rp 8-10 ribu, lalu turun di Trowulan.
Atau, naik bus mini tujuan Mojokerto, dilanjutkan dengan angkutan umum menuju
Trowulan dengan ongkos yang hampir sama.
Candi Brahu dapat dicapai dengan menggunakan
jasa becak yang banyak ditemukan di sekitar Trowulan. Harga ongkos becak sesuai
dengan tawar-menawar. Biasanya, tukang becak akan menawarkan jasa mengelilingi
sejumlah situs Trowulan yang terpencar di berbagai desa dengan biaya sekitar Rp
50 ribu.
Kunjungilah terlebih dulu Museum
Trowulan atau bertanyalah dengan warga sekitar dan tukang becak untuk
mengetahui atau mengajak mengelilingi candi-candi lainnya di sekitar Candi
Brahu.
Tak banyak rumah makan atau pedagang
makanan dan minuman di berbagai lokasi candi, jadi sebaiknya, persiapkan
perbekalan selama berkunjung.