Rabu, 10 April 2013

Candi Jago


Candi Jago: Keagungan Darma Sang Raja

Masih di sekitar Kabupaten Malang di mana pusat Kerajaan Singosari pernah berada, kami melanjutkan perjalanan dari Candi Kidal menuju Dusun Jago di Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang. Di sinilah bisa kami temukan candi lain yang memiliki keterkaitan penting pada masa Singosari, yaitu pendarmaan lain dari raja selanjutnya.

Nama lokal lain dari Candi Jago adalah Candi Tumpang atau Cungkup. Kata “Jago” berasal dari “Jajaghu” yang artinya “Keagungan” (divine). Sebagai sebuah tempat suci bersemayamnya seorang raja, Candi Jago tidak hanya menjadi sakral dan dianggap suci, tetapi juga menyimpan daya magis yang bercampur dengan manifestasi estetis sebagai simbol guna menghormati dan mengenang raja.



Kemulian Mendiang Raja
Tak jauh dari Pasar Tumpang, kami berbelok memasuki desa. Jalanan kecil dan berkerikil yang menanjak, membuat kami harus menarik gas motor dengan hati-hati. Dikelilingi oleh rumah-rumah penduduk dan dibatasi oleh sekedar pagar kawat berduri, tampak Candi Jago begitu megah bagai menantang langit di ketinggian.

Warnanya yang kelabu serta berlumut pada bagian-bagian tertentu membuat bata merah di bagian tengah tampak menyala di bawah teriknya mentari. Pada kitab Negarakertagama, disebutkan bahwa Candi Jago merupakan lokasi disemayamkannya Raja IV Kerajaan Singosari, yaitu Raja Rangga Wuni dengan gelar Sri Jaya Wisnu Wardhana (1248-1268). Sri Jaya Wisnu tak lain adalah adik kandung Anusapati dari Tunggul Ametung (ayah) dan Ken Dedes (ibu) serta anak tiri dari Raja Pertama Sri Ranggah Rajasa. Motif yang mencirikan seni Singosari pada candi berupa sebaran hiasan berupa padma.



Sebagai candi pendarmaan, Candi Jago menampilkan wujud dan karakter sang raja. Corak candi adalah Siwa-Buddha (percampuran Hindu-Buddha pada Dinasti Singosari) sesuai dengan aliran yang dianut raja. Diperkirakan candi diresmikan tahun 1280, dan mungkin telah mengalami renovasi (pembangunan kembali) oleh Raja Adityawarman pada masa Majapahit sesudahnya.

Seperti candi pada umumnya, Candi Jago memiliki denah persegi panjang dengan tiga teras yang masing-masing memiliki selasar yang kian mengerucut di bagian atas di mana terdapat teras bagian belakang (menandakan bagian paling suci di tempat tertinggi). Keunikan yang membedakan dengan candi lainnya, ialah bentuknya yang mirip dengan bangunan punden berundak era Megalitikum. Hal tersebutlah yang menguatkan makna sakralitas candi sebagai tempat pemujaan. Serupa dengan Candi Kidal dan Candi Brahu yang diperkirakan berfungsi sama, pada bagian tertinggi terdapat relung menyerupai pintu yang hampir seluruh sisinya dihiasi bunga dan sulur sebagai simbol ketuhanan (divine/God/universe) maupun pencerahan.



Perjalanan Menuju Pembebasan Sejati
Candi Jago ditemukan Belanda tahun 1834. Saat itu kondisi candi berada dalam keadaan rusak karena akar-akar pohon beringin besar yang tumbuh di dekat candi. Keberadaan pohon di sekitar candi mungkin memang sengaja ditanam sebagai penanda sekaligus pelindung keberadaan candi dari marabahaya dan bencana. Tahun 1890, candi dipugar. Selanjutnya baru pada tahun 1908, candi memiliki bentuk seperti sekarang ini. Bagian atas candi masih belum mengalami bentuk sempurna karena bagian-bagian yang belum ditemukan, sehingga sulit untuk direkonstruksi.


Hampir seluruh badan Candi Jago dipenuhi dengan relief penuh kisah mengenai perjalanan spiritual manusia. Karena menghadap ke barat, kita bisa memulai perjalanan tersebut dengan berjalan mengelilingi candi mulai dari arah Barat, berlawanan arah jarum jam, melingkar serupa simbol Chukurei (Reiki) atau spiral menuju teras atas yang mengerucut.

Kisah pada relief terbagi ke dalam dua karakter, yaitu Hindu dan Buddha. Cerita Parthayajna, Arjunawiwaha, dan Kalayawana adalah Hindu, sementara cerita Tantri/Pancatantra, Anglingdarma, dan Kunjarakarna adalah Buddha.

Teras pertama dimulai dengan cerita binatang (Parthayajna) di mana kita bisa membaca melalui relief kura-kura yang terbang dengan menggigit tongkat yang dibawa burung bangau, kemudian serigala yang memangsa kura-kura yang terjatuh dari langit karena kesombongannya dan  perlawanannya terhadap hakikat hidupnya di daratan dan di perairan, bukan di langit. Dilanjutkan dengan kisah Arjunawiwaha yang bercerita tentang Anglingdarma yang melihat percumbuan Naga Gini dan Ular Tampar. Pula hadiah berupa Aji Geneng (ilmu bahasa binatang) yang diberikan Naga Raja pada Anglingdarma dengan syarat bahwa ilmu tersebut tak boleh diajarkan pada orang lain, bahkan kepada permaisuri Anglingdarma yang membujuk dan mengancam untuk diajarkan, hingga mati terbakar karena perkataannya sendiri. Di sinilah kita dapat memaknai tentang perselingkuhan, kemarahan, pengkhianatan, fitnah , kelicikan, kebohongan (kejujuran), dan amanah.


Masih pada teras pertama, adalah Kunjarakarna yang berkisah mengenai perjalanan Kunjarakarna, yaitu murid setia Wirawacana (Dewa Buddha). Perjalanan yang dialaminya sebelum mendapatkan pencerahan pengetahuan (Dharma) tersebut merupakan perjalanan spiritual memasuki neraka di mana ia melihat penyiksaan sahabatnya Purnawijaya. Setelah momen tersebut, ia pun mulai mengajarkan kebaikan (agama Buddha), terutama kepada Purnawijaya untuk membersihkan diri dari dosa-dosa.



Pada teras kedua, ada kisah Parthayajna yang dimulai dengan adegan Pandawa yang kalah bermain dadu dengan Kurawa dengan hukuman berupa pembuangan 13 tahun (sumber lain menyebut 15 tahun) di dalam hutan. Selama pengembaraan itulah Arjuna memutuskan berpisah dengan saudara lainnya dan memulai perjalanan spiritual (bertapa) di Gunung Indrakila di mana ia kemudian bertemu gadis yang jatuh cinta padanya serta belajar dengan dewa-dewi dan para petapa.

Teras ketiga, mengisahkan Arjuna Wiwaha yang setelah pertapaannya di Gunung Indrakila, mendapatkan sebuah “pusaka” dan perintah Dewa Siwa untuk membunuh raksasa bernama Niwatakawaca. Hingga kemudian, Arjuna menikah dengan Dewi Supraba. Lebih dramatis lagi, pada relief terakhir menceritakan peperangan Kresna dengan raksasa Kalayawana. Kresna yang terdesak akhirnya bersembunyi di goa bersama para prajurit. Di saat bersamaan terdapat Raja Mucukunda yang tengah bermeditasi, tapi dibangunkan (ditendang) Kresna. Begitu marahnya sang raja hingga api seolah keluar dari matanya dan membakar Kresna dan para prajuritnya.



 Secara sekilas, relief-relief pada dinding candi memiliki ciri visual yang khas dan mirip dengan wayang. Unsur-unsur Hindu dan Buddha menyatu dengan sangat indah dan sakral. Tepat di depan candi, terdapat bentuk yang diduga adalah stupa yang kini hanya menyisakan bagian bawah dengan motif teratai. Sedangkan di sisi kanan, adalah arca Amoghapasa bertangan delapan (tanpa kepala) bersama Kala (menyisakan hanya kepalanya saja). Ukiran bunga memenuhi tubuh Amoghapasa, sementara aplikasi motif spiral turut menghiasi hampir di seluruh wajah Kala, menandakan suatu sosok yang telah mengalami pencerahan atau mencapai Nirwana.



Berada di kawasan dataran tinggi dengan udara sejuk dan pemandangan yang mempesona, Candi Jago adalah petilasan yang banyak memberikan makna spiritual, sekaligus rasa syukur dan kekaguman terhadap keagungan dan keindahan sosoknya.

Sumber:
Candi Jago “Jajaghu.” www.geocities.com/d3ja.
Informasi pada papan informasi (lembar keterangan) pada halaman dan kantor informasi Candi Jago.

How to travel:
  • Candi Jago terletak sekitar 21,5 km dari Kota Malang atau sekitar 7,5 km dari Candi Kidal. Berada di Dusun Jago, Desa Tumpang dengan patokan Pasar Tumpang (lokasi candi berada sekitar 200 m dari pasar).
  • Tidak ada tarif standar untuk masuk Candi Jago, jadi sebaiknya berilah donasi secukupnya kepada penjaga/juru kunci candi.
  • Karena candi msaih dianggap sebagai tempat yang sakral, jadi bersikaplah sopan dan menghargai candi dengan tidak membuang sampah, berpakaian sopan, dan bersikap hormat dan santun.
  • Meski tidak ada larangan menaiki candi, sebaiknya jangan menaiki candi. Karena selain tangga yang sempit dan curam, tentu akan membahayakan pengunjung, apalagi bangunan candi sendiri juga sangat riskan mengalami kerusakan (kemerosotan) terhadap tekanan.

What to see:
  • Dengan badan candi yang dipenuhi dengan relief, kita dapat menikmati sekaligus belajar mengenai kesenian Dinasti Singosari melalui relief.
  • Di halaman candi, juga terdapat berbagai sisa arca yang bisa dilihat.
  • Candi Jago berada di kawasan pegunungan di mana sepanjang perjalanan di hiasi dengan gunung, perkebunan, dan hamparan sawah yang indah. Silakan mampir ke perkebunan apel yang terletak di desa-desa sekitarnya.
  • Mampirlah di Pasar Tumpang pada pagi hari untuk menikmati keramaian dan kehidupan warga lokal, serta membeli jajanan dan panganan khas pasar tradisional yang masih bersih, murah, dan juga penuh pengalaman melalui interaksi dengan orang lokal.
  • Kabupaten Malang adalah salah satu pintu menuju Bromo-Tengger-Semeru, jadi silakan catat keberadaan Candi Jago selama menempuh perjalanan ke sana.