Rabu, 10 April 2013

Candi Sukuh


Candi Sukuh: Penyatuan Seksualitas Menuju Semesta

Solo sebagai Kota Batik memang memiliki pesonanya sendiri. Sesampainya di Solo, tentu kami mampir sejenak ke kampung batik (yang cukup terkenal adalah Kampung Batik Kauman dan Laweyan) dan Museum Batik Danar Hadi, tak lupa mencicipi kuliner khasnya, seperti gudeg, nasi liwet, klatak (olahan daging kambing), serabi, dan juga masakan oriental di sekitar pecinan, salah satunya Mi Ayam Gang Kecil. Tapi Solo bukan tujuan kami, melainkan perhentian awal menuju kawasan percandian di Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, Jawa tengah (masih dalam wilayah Karisidenan Surakarta). Yang pertama akan kami datangi adalah Candi Sukuh.



Perjalanan kami mulai dari Terminal Tirtohadi di Solo menuju Tawangmangu dengan jarak sekitar 20 km. Meninggalkan Kota Solo, kami memasuki kawasan pegunungan yang dipenuhi dengan rumah-rumah penduduk bergaya arsitektur Jawa serta perkebunan dan hutan pinus yang sejuk. Tak seperti informasi kawan yang pernah berkunjung sebelumnya, jalanan yang kami lewati sekarang meski berkelok dan menanjak, namun aspal jalan sudah sangat bagus dan mulus. Semakin ke atas, jajaran pohon pinus semakin rapat dan udara kian terasa dingin ketika hembusan angin menerpa wajah kami saat membuka kaca mobil. Ini belum apa-apa dibandingkan kelak kami harus melanjutkan perjalanan dengan ojek menuju lokasi candi di lereng bukit.

Lingga dan Yoni Sebagai Representasi Makrokosmos
Sedikit demi sedikit, gerbang batu itu kian jelas menampakkan tubuhnya. Ketika akhirnya kami sampai di lereng barat Gunung Lawu, tepatnya di Dusun Sukuh, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso. Di antara pepohonan, sosok candi tersebut terlihat begitu gagah, sekaligus lembut dan menenangkan. Berbeda bentuk dengan candi-candi lainnya di sekitar Yogyakarta maupun Jawa Tengah, Candi Sukuh mirip sekali dengan bentuk kuil peninggalan Suka Maya berupa piramida (punden berundak). Meski tak ada dari kami yang pernah ke piramida-piramida di Peru, Chili, atau pun Meksiko, tapi kami berani jamin bahwa Candi Sukuh tak kalah indahnya dengan candi-candi yang ada, bahkan dengan piramida di belahan dunia lain.



Selain bentuknya yang mengesankan, Candi Sukuh juga dihiasi dengan berbagai arca dan relief yang dipahat langsung pada dinding-dinding candi. Pahatannya memang tidak sehalus pada Candi Prambanan atau Borobudur, tetapi lebih dalam (relief lebih menonjol) dan sosok-sosok pada relief candi mirip dengan sosok pada candi-candi di Jawa Timur, seperti Candi Jago. Berdiri di gapura pertama, adalah titik terbaik dan tepat untuk menyaksikan keindahan Kota Solo dan kawasan pemukiman dan perkebunan yang hijau dari ketinggian 910 m di atas permukaan laut. Rasanya seperti sedang berada di atas awan melihat hamparan kota dan bukit di bawah sana. Melewati gapura kedua yang lebih tinggi, hingga gapura dan teras ketiga di mana candi induk berupa piramid berada, kami begitu takjub melihat simbol-simbol binatang, burung garuda, dan kelamin perempuan maupun laki-laki.

Candi Sukuh diprediksi sebagai peninggalan Kerajaan Majapahit pada pertengahan abad ke-14 sampai 15 atau menurut kalender Jawa bertahun 1359 Saka atau 1437 Masehi (“Gapuro Bhuto Anguntal Jalmo” yang setiap kata masing-masing mewakili huruf 9-5-3-1). Sebagai candi yang berorientasi pada Siwa Buddha Tantrayana, lambang kelamin memiliki makna yang sakral atau kekuatan keseimbangan Tantrayana (penyatuan lingga/kelamin laki-laki dan yoni/kelamin perempuan). Salah satu ajaran Tantrayana adalah mengenai penjelasan tentang Bhuana Alit (mikrokosmos) dan Bhuana Agung (makrokosmos) atau dalam Hindu berupa Purusa-Pradana yang dilambangkan dengan perkawinan Bhatara Siwa (sacred masculine/penis) dan Betari Durga (sacred feminine/vagina dan rahim). Keduanya tak bisa dipisahkan layaknya mikrokosmos sebagai bagian kecil dari makrokosmos (semesta atau “Tuhan”). Tantrayana mengajarkan bahwa tubuh manusia (mikrokosmos) merupakan miniatur alam semesta (makrokosmos). Denah candi pun mewakili kesatuan lingga-yoni. Candi induk berupa piramid yang menonjol di bagian atas adalah representasi falus, sementara pembagian ruang dengan tiga teras dan gapura dengan lorong yang menyempit begitu mirip vagina, rahim, dan saluran kelamin perempuan. Maka, candi dikaitkan sebagai jembatan antara mikrokosmos (tubuh manusia) dan makrokosmos (semesta/Tuhan).



Keterkaitan simbol lingga-yoni dan pencapaian manusia (moksa) sangat erat ditampilkan pada candi ini. Tiga teras dan gapura juga memiliki arti sebagai Dunia Bawah (Nisat Mandala/Njaba) ditandai dengan relief Bima Suci; Dunia Tengah (Madya Mandala/Njaba Tengah) dengan relief Ramayana, Garudeya, dan Sudhamala; dan Dunia Atas (Utama Mandala/Njeroan) melalui relief Swargarohanaparwa (Nirwana). Tiga dunia juga merupakan tahapan kehidupan manusia: lahir, hidup, dan mati/moksa/penyatuan yang sangat erat hubungannya terhadap seks maupun seksualitas tanpa prasangka terhadap identitas maupun preferensi seksual atau stigma tabu terhadap seks/kelamin.

Dari bentuk dan ornamennya (denah, relief, dan arca) menegaskan bagaimana struktur tubuh manusia (alat kelamin) memiliki makna yang dalam dan sakral sebagai bagian mikro dari semesta atau proses menuju Sang Maha Esa. Candi Sukuh adalah simbol penyempurnaan manusia menuju tahapan selanjutnya atau tertinggi. Orang Jawa menyebutnya dengan ruwat atau (upacara) ruwatan di mana manusia ditasbihkan untuk “naik” atau penyembuhan/pembebasan dari segala dosa. Sampai saat ini, masyarakat yang beragama Hindu maupun orang-orang Jawa yang masih mempercayai dan melakukan tradisi kuno, masih berdoa di candi sebagai sarana komunikasi kepada Tuhan untuk pengampunan atau pembersihan diri.

Kisah dan Penokohan
Tak hanya memiliki sosok relief dinding yang mirip dengan candi di Jawa Timur, Candi Sukuh ternyata juga memiliki kisah yang serupa, salah satunya adalah kisah tentang Dewi Kadru yang beranak Naga dan Dewi Winata yang beranak Garuda terkait pencarian air kehidupan (Tirta Amerta). Mitologi tersebut mungkin terasa tak masuk akal, namun memiliki makna simbol dan metafor yang dekat dengan sains tentang proses penciptaan bumi. Bentuk piramid yang menyerupai Gunung Mandara, adalah pasak dengan lilitan ekor Naga Basuki yang menjadi goncangan sirkular untuk memulai pengadukan “lautan susu” mencari air kehidupan di mana tiga kura-kura berperan sebagai penyangga gunung. Selain memberikan pemahaman proses penciptaan semesta, pada relief lain yang menunjukkan balai/rumah di mana terdapat seorang ibu tengah berjongkok dan adanya orang tarik-menarik, menurut tafsiran Suro Gedeng, penulis buku kecil tentang Candi Sukuh yang bisa didapatkan pada loket atau pos informasi candi, merupakan penggambaran seorang manusia yang tinggal pada rahim dan pemeliharaan ibu, hingga kelak sang embrio menjadi manusia yang tarik-menarik dengan karma baik (Subakarma) dan karma buruk (Asubakarma).



Ada pula relief “Sangkan Paraning Dumadi” yang mensejajarkan Dewa Siwa dan Bima yang manusia berdiri dalam lingkup tapal kuda dengan ornamen naga berkepala dua dan Kala, dapat dimaknai sebagai pencapaian manusia yang berasal dari Sang Tunggal terhadap suatu kesadaran (wujud fisik sebagai wadah belaka). Penyatuan tersebut merupakan pelepasan ego manusia (keduniawian/fisik).

Tafsiran pada relief dan patung di Candi Sukuh juga menjadi tafsir kitab Jawa Kuno Sudamala. Kisahnya bisa sangat mirip dengan tafsir agama monoteisme (Samawi) tentang bagaimana manusia turun ke bumi. Dikisahkan bahwa Dewi Uma (Parwati) yang berkhianat dari “suami”-nya Sang Batara Guru (Dewa Siwa), diusir dan dikutuk menjadi Durga. Untuk bisa kembali ke Swargaloka, Durga memerlukan Pandawa (bernama Sadewa) yang bersedia meruwatnya. Namun Sadewa yang menolaknya, diikatnya pada pohon randu, hingga terjadi perkelahian dan penyerahan (ruwat/kembalinya kemuliaan Durga sebagai Dewi). Kisah tak berhenti sampai situ, namun berlanjut hingga Sadewa meminang kekasih dan pertempuran Bima membinasakan Kalantaka dan Kalanjaya.

Yang menarik dari relief Candi Sukuh, yaitu kemunculan tokoh Semar pada banyak adegan penting. Kyai Lurah Semar Inanabhadra adalah sosok yang sakral pada kitab Jawa dan pewayangan, serta menjadi teman atau bapak (pendamping sakti) bagi para Pandawa. Kata “Semar” sendiri dalam bahasa Jawa, dapat diartikan “samar” atau berasal dari kata “sar” (imbuhan “-am”) yang bermakna cahaya atau menjadi kata kerja “nyamar.” Ia muncul dengan mimik yang ekspresif (manusiawi) dengan perangai lucu, jenaka, kadang canda-tawa, tapi kadang bisa menangis. Meski begitu, Semar memunculkan banyak kebijaksanaan dalam tingkah lakunya. Ia pun dianggap sebagai jelmaan dari dewa (Sang Hyang Ismoyo) yang me-“manusia”-kan dirinya.



Keruntuhan Majapahit memunculkan peradaban agama baru di Jawa. Candi Sukuh saat ini mungkin hanya dilihat sebagai atraksi pariwisata bagi penduduk desa ketimbang tempat sakral. Namun cerita para orang-orang tua yang menitipkan pesan kepada generasi selanjutnya, memunculkan banyak interpretasi tentang hal-hal gaib, sehingga candi masih dihormati, dirawat, dan tak ada yang berani mencuri potongan relief maupun patung meski candi hanya dipagari seadanya.

Keberadaan candi pada lereng gunung yang dikelilingi hutan pinus ini sebetulnya telah diketahui sejak dulu. Tahun 1815, Johnson sudah melaporkannya kepada Pemerintah Britania Raya, dilanjutkan oleh arkeolog Belanda Van der Vlis yang kemudian memugar candi pertama kali tahun 1928. Tahun 1995, Candi Sukuh didaftarkan ke UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia. Walaupun belum juga mendapat pengakuan dunia, kemegahan dan sakralitas Candi Sukuh tetap menarik bagi para spiritualis, arkeolog, serta para traveler dari seluruh dunia yang mencari petualangan jiwa di lokasi yang bagai Nirwana di dataran tinggi Kabupaten Karanganyar.

Candi Sukuh menjadi titik pertama dari penjelajahan candi kami di lereng-lereng Gunung Lawu. Tujuan kami selanjutnya adalah Candi Planggatan, Candi Menggung, Candi Cetho, dan Candi Kethek yang berada masih di Kabupaten Karanganyar.

Sumber:
Gedeng, Suro (2010) Candi Jawa Peninggalan Era Majapahit, Candi Sukuh: Sirna Ilang Kertaning Bumi Tata Tentrem Kerta Raharja. Karangnyar.
Papan informasi pada Candi Sukuh.

How to Get There:
Kabupaten Karanganyar berada sekitar 20 km dari Solo. Perjalanan bisa dimulai dari Kota Solo. Jika menggunakan kendaraan pribadi atau taksi, bisa memakan waktu sekitar 1 jam perjalanan. Tetapi dengan kendaraan umum, kemungkinan 2 jam karena bus akan mengetem atau menunggu penumpang lain di beberapa titik.

Dengan taksi dari Kota Solo, biasanya akan ditawarkan tanpa argo dengan harga tawar-menawar sekitar Rp 130 ribu. Sementara untuk kendaraan umum bisa dimulai dari Terminal Tirtonadi di Solo dengan bus jurusan Solo-Karanganyar bertarif Rp 7.000 dan akan turun di Terminal Karangpandan. Lalu, melanjutkan dengan kendaraan kecil atau angkot menuju Nglorog dengan tarif sekitar Rp 3.000. Bilanglah kepada kenek atau supir untuk minta diturunkan di pertigaan Nglorog. Dari sini, perjalanan bisa dilanjutkan dengan ojek seharga sekitar Rp 10 ribu sampai ke Candi Sukuh. (Harga berlaku tahun 2013.)

Untuk menuju lokasi candi atau wisata lainnya di sana, seperti air terjun atau gua, dapat menyewa ojek penduduk dengan tarif tawar-menawar sekitar Rp 100 ribu selama satu hari.

Where to Stay:
Di kawasan pegunungan dekat Candi Sukuh, terdapat beberapa vila yang berlokasi sekitar beberapa ratus meter dari candi. Kebanyakan dari vila tersebut disewa satu rumah dengan harga yang cukup mahal. Jadi, sebaiknya menggunakan jasa homestay (rumah penduduk) Desa Sukuh yang bertetangga persis dengan Candi Sukuh. Harga homestay bisa tawar-menawar. Harga sewa kamar dimulai dari Rp 50 ribu hingga Rp 150 ribu per malam. Biasanya harga masih fleksibel mengingat kadang satu kamar bisa untuk sekitar 3 orang atau menyewa ruang tamu rumah penduduk khusus untuk rombongan. Jika bersama lebih dari satu teman, sebaiknya mulailah menawar dengan harga Rp 50 ribu. (Harga berlaku pada tahun 2013) Jangan menawar hanya pada satu orang. Tanyalah kepada penduduk yang lain untuk tawaran harga yang murah dan fasilitas yang memadai.

Pastikan bentuk fisik kamar sebelum menyewa untuk mempertimbangkan kondisi kasur, selimut, kamar mandi, dan lainnya. Biasanya mereka akan menyediakan kopi atau teh panas dan sarapan pagi berupa mi instan jika kita menawarnya sebagai bagian dari sewa kamar.

What to See:
Tidak berdekatan, tetapi masih dalam kabupaten yang sama, kita bisa mengunjungi lokasi candi lainnya, yaitu Candi Planggatan (yang terdekat sekitar 3 km dari Candi Sukuh), ada juga Candi Menggung, Candi Cetho, dan Candi Kethek. Masih dalam satu area dengan Candi Sukuh, adalah Taman Hutan Raya KGPAA Mangkunagoro I di mana kita bisa menikmati pemandangan menakjubkan dari ketinggian di antara hutan pinus yang menjadi rumah kijang. Ada juga berbagai air terjun dan goa, seperti Grojogan Sewu di Kalisoro, Air Terjun Jumok di Ngargoyoso, Goa Cokrokembang di Anggrasmanis, dan lainnya. 

Candi Jago


Candi Jago: Keagungan Darma Sang Raja

Masih di sekitar Kabupaten Malang di mana pusat Kerajaan Singosari pernah berada, kami melanjutkan perjalanan dari Candi Kidal menuju Dusun Jago di Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang. Di sinilah bisa kami temukan candi lain yang memiliki keterkaitan penting pada masa Singosari, yaitu pendarmaan lain dari raja selanjutnya.

Nama lokal lain dari Candi Jago adalah Candi Tumpang atau Cungkup. Kata “Jago” berasal dari “Jajaghu” yang artinya “Keagungan” (divine). Sebagai sebuah tempat suci bersemayamnya seorang raja, Candi Jago tidak hanya menjadi sakral dan dianggap suci, tetapi juga menyimpan daya magis yang bercampur dengan manifestasi estetis sebagai simbol guna menghormati dan mengenang raja.



Kemulian Mendiang Raja
Tak jauh dari Pasar Tumpang, kami berbelok memasuki desa. Jalanan kecil dan berkerikil yang menanjak, membuat kami harus menarik gas motor dengan hati-hati. Dikelilingi oleh rumah-rumah penduduk dan dibatasi oleh sekedar pagar kawat berduri, tampak Candi Jago begitu megah bagai menantang langit di ketinggian.

Warnanya yang kelabu serta berlumut pada bagian-bagian tertentu membuat bata merah di bagian tengah tampak menyala di bawah teriknya mentari. Pada kitab Negarakertagama, disebutkan bahwa Candi Jago merupakan lokasi disemayamkannya Raja IV Kerajaan Singosari, yaitu Raja Rangga Wuni dengan gelar Sri Jaya Wisnu Wardhana (1248-1268). Sri Jaya Wisnu tak lain adalah adik kandung Anusapati dari Tunggul Ametung (ayah) dan Ken Dedes (ibu) serta anak tiri dari Raja Pertama Sri Ranggah Rajasa. Motif yang mencirikan seni Singosari pada candi berupa sebaran hiasan berupa padma.



Sebagai candi pendarmaan, Candi Jago menampilkan wujud dan karakter sang raja. Corak candi adalah Siwa-Buddha (percampuran Hindu-Buddha pada Dinasti Singosari) sesuai dengan aliran yang dianut raja. Diperkirakan candi diresmikan tahun 1280, dan mungkin telah mengalami renovasi (pembangunan kembali) oleh Raja Adityawarman pada masa Majapahit sesudahnya.

Seperti candi pada umumnya, Candi Jago memiliki denah persegi panjang dengan tiga teras yang masing-masing memiliki selasar yang kian mengerucut di bagian atas di mana terdapat teras bagian belakang (menandakan bagian paling suci di tempat tertinggi). Keunikan yang membedakan dengan candi lainnya, ialah bentuknya yang mirip dengan bangunan punden berundak era Megalitikum. Hal tersebutlah yang menguatkan makna sakralitas candi sebagai tempat pemujaan. Serupa dengan Candi Kidal dan Candi Brahu yang diperkirakan berfungsi sama, pada bagian tertinggi terdapat relung menyerupai pintu yang hampir seluruh sisinya dihiasi bunga dan sulur sebagai simbol ketuhanan (divine/God/universe) maupun pencerahan.



Perjalanan Menuju Pembebasan Sejati
Candi Jago ditemukan Belanda tahun 1834. Saat itu kondisi candi berada dalam keadaan rusak karena akar-akar pohon beringin besar yang tumbuh di dekat candi. Keberadaan pohon di sekitar candi mungkin memang sengaja ditanam sebagai penanda sekaligus pelindung keberadaan candi dari marabahaya dan bencana. Tahun 1890, candi dipugar. Selanjutnya baru pada tahun 1908, candi memiliki bentuk seperti sekarang ini. Bagian atas candi masih belum mengalami bentuk sempurna karena bagian-bagian yang belum ditemukan, sehingga sulit untuk direkonstruksi.


Hampir seluruh badan Candi Jago dipenuhi dengan relief penuh kisah mengenai perjalanan spiritual manusia. Karena menghadap ke barat, kita bisa memulai perjalanan tersebut dengan berjalan mengelilingi candi mulai dari arah Barat, berlawanan arah jarum jam, melingkar serupa simbol Chukurei (Reiki) atau spiral menuju teras atas yang mengerucut.

Kisah pada relief terbagi ke dalam dua karakter, yaitu Hindu dan Buddha. Cerita Parthayajna, Arjunawiwaha, dan Kalayawana adalah Hindu, sementara cerita Tantri/Pancatantra, Anglingdarma, dan Kunjarakarna adalah Buddha.

Teras pertama dimulai dengan cerita binatang (Parthayajna) di mana kita bisa membaca melalui relief kura-kura yang terbang dengan menggigit tongkat yang dibawa burung bangau, kemudian serigala yang memangsa kura-kura yang terjatuh dari langit karena kesombongannya dan  perlawanannya terhadap hakikat hidupnya di daratan dan di perairan, bukan di langit. Dilanjutkan dengan kisah Arjunawiwaha yang bercerita tentang Anglingdarma yang melihat percumbuan Naga Gini dan Ular Tampar. Pula hadiah berupa Aji Geneng (ilmu bahasa binatang) yang diberikan Naga Raja pada Anglingdarma dengan syarat bahwa ilmu tersebut tak boleh diajarkan pada orang lain, bahkan kepada permaisuri Anglingdarma yang membujuk dan mengancam untuk diajarkan, hingga mati terbakar karena perkataannya sendiri. Di sinilah kita dapat memaknai tentang perselingkuhan, kemarahan, pengkhianatan, fitnah , kelicikan, kebohongan (kejujuran), dan amanah.


Masih pada teras pertama, adalah Kunjarakarna yang berkisah mengenai perjalanan Kunjarakarna, yaitu murid setia Wirawacana (Dewa Buddha). Perjalanan yang dialaminya sebelum mendapatkan pencerahan pengetahuan (Dharma) tersebut merupakan perjalanan spiritual memasuki neraka di mana ia melihat penyiksaan sahabatnya Purnawijaya. Setelah momen tersebut, ia pun mulai mengajarkan kebaikan (agama Buddha), terutama kepada Purnawijaya untuk membersihkan diri dari dosa-dosa.



Pada teras kedua, ada kisah Parthayajna yang dimulai dengan adegan Pandawa yang kalah bermain dadu dengan Kurawa dengan hukuman berupa pembuangan 13 tahun (sumber lain menyebut 15 tahun) di dalam hutan. Selama pengembaraan itulah Arjuna memutuskan berpisah dengan saudara lainnya dan memulai perjalanan spiritual (bertapa) di Gunung Indrakila di mana ia kemudian bertemu gadis yang jatuh cinta padanya serta belajar dengan dewa-dewi dan para petapa.

Teras ketiga, mengisahkan Arjuna Wiwaha yang setelah pertapaannya di Gunung Indrakila, mendapatkan sebuah “pusaka” dan perintah Dewa Siwa untuk membunuh raksasa bernama Niwatakawaca. Hingga kemudian, Arjuna menikah dengan Dewi Supraba. Lebih dramatis lagi, pada relief terakhir menceritakan peperangan Kresna dengan raksasa Kalayawana. Kresna yang terdesak akhirnya bersembunyi di goa bersama para prajurit. Di saat bersamaan terdapat Raja Mucukunda yang tengah bermeditasi, tapi dibangunkan (ditendang) Kresna. Begitu marahnya sang raja hingga api seolah keluar dari matanya dan membakar Kresna dan para prajuritnya.



 Secara sekilas, relief-relief pada dinding candi memiliki ciri visual yang khas dan mirip dengan wayang. Unsur-unsur Hindu dan Buddha menyatu dengan sangat indah dan sakral. Tepat di depan candi, terdapat bentuk yang diduga adalah stupa yang kini hanya menyisakan bagian bawah dengan motif teratai. Sedangkan di sisi kanan, adalah arca Amoghapasa bertangan delapan (tanpa kepala) bersama Kala (menyisakan hanya kepalanya saja). Ukiran bunga memenuhi tubuh Amoghapasa, sementara aplikasi motif spiral turut menghiasi hampir di seluruh wajah Kala, menandakan suatu sosok yang telah mengalami pencerahan atau mencapai Nirwana.



Berada di kawasan dataran tinggi dengan udara sejuk dan pemandangan yang mempesona, Candi Jago adalah petilasan yang banyak memberikan makna spiritual, sekaligus rasa syukur dan kekaguman terhadap keagungan dan keindahan sosoknya.

Sumber:
Candi Jago “Jajaghu.” www.geocities.com/d3ja.
Informasi pada papan informasi (lembar keterangan) pada halaman dan kantor informasi Candi Jago.

How to travel:
  • Candi Jago terletak sekitar 21,5 km dari Kota Malang atau sekitar 7,5 km dari Candi Kidal. Berada di Dusun Jago, Desa Tumpang dengan patokan Pasar Tumpang (lokasi candi berada sekitar 200 m dari pasar).
  • Tidak ada tarif standar untuk masuk Candi Jago, jadi sebaiknya berilah donasi secukupnya kepada penjaga/juru kunci candi.
  • Karena candi msaih dianggap sebagai tempat yang sakral, jadi bersikaplah sopan dan menghargai candi dengan tidak membuang sampah, berpakaian sopan, dan bersikap hormat dan santun.
  • Meski tidak ada larangan menaiki candi, sebaiknya jangan menaiki candi. Karena selain tangga yang sempit dan curam, tentu akan membahayakan pengunjung, apalagi bangunan candi sendiri juga sangat riskan mengalami kerusakan (kemerosotan) terhadap tekanan.

What to see:
  • Dengan badan candi yang dipenuhi dengan relief, kita dapat menikmati sekaligus belajar mengenai kesenian Dinasti Singosari melalui relief.
  • Di halaman candi, juga terdapat berbagai sisa arca yang bisa dilihat.
  • Candi Jago berada di kawasan pegunungan di mana sepanjang perjalanan di hiasi dengan gunung, perkebunan, dan hamparan sawah yang indah. Silakan mampir ke perkebunan apel yang terletak di desa-desa sekitarnya.
  • Mampirlah di Pasar Tumpang pada pagi hari untuk menikmati keramaian dan kehidupan warga lokal, serta membeli jajanan dan panganan khas pasar tradisional yang masih bersih, murah, dan juga penuh pengalaman melalui interaksi dengan orang lokal.
  • Kabupaten Malang adalah salah satu pintu menuju Bromo-Tengger-Semeru, jadi silakan catat keberadaan Candi Jago selama menempuh perjalanan ke sana.

Candi Kidal


Candi Kidal: Pengabdian Jasa dan Karma Sang Raja

Menuju arah timur sekitar 28 km dari Kota Malang, kali ini kami menuju Desa Kidalrejo di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Dari nama desa yang kami tuju, mungkin sudah bisa ditebak bahwa tujuan selanjutnya adalah Candi Kidal. Dengan motor, perjalanan memang tidak mudah. Beberapa kali kami harus menepi dan bertanya arah. Tetapi pemandangan dan udara dataran tinggi yang kami lewati, membuat perjalanan jauh dan berkelok sebagai suatu kenikmatan tersendiri.



Kidal merupakan nama yang cukup tersohor. Kitab Pararaton menyebutnya sebagai tempat meninggalnya Raja Anusapati. Sementara pada Kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca (1365) menyinggungnya sebagai pendarmaan yang pernah dijejaki Hayam Wuruk. Dalam kosakata Jawa, “Kidal” memiliki arti “kiri” atau “selatan”dari asal kata “kidul.” Beberapa orang beranggapan bahwa lokasi di mana candi berada dinamakan “Kidal” karena sang raja tak lain adalah anak tiri dari Raja Singosari, Sri Ranggah Rajasa (Ken Angrok). Sedangkan arah selatan mengacu pada keberadaan candi di arah selatan agak ke kiri dari pusat Singosari. Sebagai candi pendarmaan raja, Kidal pun banyak menyimpan kisah Anusapati.

Kisah Sang Raja
Anusapati merupakan raja yang memerintah Singosari tahun 1227-1248 (atau tahun saka 1119-1170). Ia adalah putra tiri Ken Angrok dari istri Ken Dedes yang dinikahinya ketika Ken Dedes tengah mengandung Anusapati. Dari hubungannya dengan Ken Angrok, Ken Dedes memiliki 4 orang anak, dan dari istri lainnya – Ken Umang – juga dikaruniai 4 anak. Mendapat perlakuan yang berbeda dari sang ayah, Anusapati akhirnya mengetahui bahwa ia sebenarnya adalah anak dari ayah Tungul Ametung yang dibunuh oleh ayah tirinya sendiri.



Diliputi oleh rasa dendam, Anusapati pun merencanakan pembalasan dengan berkomplot bersama para abdi kerajaan untuk membunuh sang raja menggunakan pusaka Ken Angrok yang diberikan oleh Ken Dedes, yaitu keris Mpu Gandring. Setelahnya, Anusapati dikabarkan membunuh juga para abdi tersebut guna menghapus bukti. Berita kematian raja, membawa Anusapati menuju singgasana. Tetapi pula membawa kemurkaan lain. Tohjaya yang tak lain adalah saudara Anusapati (dari rahim Ken Umang), mengetahui apa yang telah dilakukan kakaknya. Dendam dan perebutan kekuasaan membuat pertempuran antar-saudara, yang kemudian menewaskan Anusapati. Peristiwa kematian berturut-turut itulah yang dianggap sebagai “Kutukan Mpu Gandring.” Meski belum begitu jelas sumbernya, namun cerita itulah yang sampai saat ini dipercaya masyarakat dan terus dikisahkan.

Cerita yang diyakini masyarakat Jawa ini tentu masih perlu diteliti mengingat usia Tohjaya masih belum bisa dipastikan. Pada sebuah silsilah yang dibuat Hasan Djafar (1978), Tohjaya memiliki keterangan tahun yang sama dengan kematian Anusapati. Apakah berarti ketika Anusapati meninggal, Tohjaya lahir – yang artinya tak mungkin ia membunuh kakaknya sendiri – atau tahun tersebut menyatakan masa kepemimpinannya? Sedangkan pada Negarakertagama, dilukiskan bahwa pada masa pemerintahan Anusapati, kerajaan menjadi makmur dengan rakyat yang sejahtera. Apalagi setelah 12 tahun kematiannya, sebuah candi telah rampung dibangun khusus untuk pendarmaan sang raja yang dikenal pula dengan sebutan Anusanatha.



Dengan segala keagungan dan keindahan Candi Kidal, kita dapat melihat bagaimana kehidupan Anusapati direpresentasikan ke dalam seni arsitektur dan cerita berupa relief pada candi yang berada di tengah-tengah pemukiman penduduk ini.

Untaian Simbol Pengorbanan, Ketulusan, Keadilan, dan Penghargaan
Entah apakah dari simbol-simbol yang terdapat pada candi, memiliki hubungan langsung terhadap Anusapati atau tidak. Namun yang pasti, kekaguman dan misteri terhadap Candi Kidal, telah membuat banyak orang yang telah mengunjunginya seolah tak mungkin menolak untuk mencoba memahami makna yang terkandung di dalamnya.



Sebagai candi pribadi, Candi Kidal memiliki corak Hindu. Tahun 1901, Belanda bernama Brumund dan JLA. Brandes sempat mengunjungi lokasi. Candi kemudian dikonstruksi oleh B. De Haan di tahun 1925. Sedangkan perbaikan yang kedua, dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tahun 1986 sampai 1990. Sekarang, candi yang terbuat dari batu andesit dengan relief ini memiliki panjang 10,8 meter, lebar 8,36 meter, dan tinggi 12,26 meter (diduga tinggi sebenarnya mencapai 17 meter). Bagian kaki candi memiliki penggambaran kehidupan dan alam manusia (Bhurloka), bagian badan mewakili langit (Bwahloka), dan puncaknya adalah Swahloka atau kahyangan. Begitulah masyarakat era Singosari menjelaskan mengenai kosmologi dari semesta dengan bahasa dan penjelasan yang sederhana, tetapi bermakna dalam.

Bukti sakralitas candi adalah ditemukannya berbagai arca dan benda-benda pusaka di sekitarnya. Selain tentu saja, kesucian bangunan candi itu sendiri yang tertuang pada berbagai bentuk makhluk-makhluk gaib dan simbol magis lainnya.

Pada bagian tangga, kita disambut oleh sepasang ular berkepala naga dengan mahkota. Ular dianggap sakral karena hewan melata ini memiliki tubuh yang membumi (grounding), sedangkan naga adalah penguasa air. Perpaduan antara samudera dan daratan yang menyusun bumi, dilukiskan oleh orang Jawa sebagai ular berkepala naga. Hewan inilah yang sekaligus menjadi pelindung (keseimbangan).

Ada motif teratai yang bermakna kebebasan jiwa, serta burung yang banyak dimaknai sebagai kedamaian dan kekuatan melawan gravitasi (terbang). Sedangkan, medalion dengan motif sulur sebagai penggambaran semesta/Tuhan (serupa simbol Chokurei pada Reiki atau perputaran galaksi bimasakti). Bunga-bunga dan tanaman rambat menghiasi hampir seluruh dinding. Secara spiritual, bunga adalah perlambang pencerahan, penyadaran, dan “kebangkitan.” Pada setiap sudut, patung singa tampak bagai menopang candi. Singa merupakan kendaraan Wisnu (setelahnya, juga dianggap sebagai hewan pengantar Buddha menuju Nirwana) yang mewakili kekuatan dan keganasan sebagai salah satu penguasa “Dunia Tengah.”

Pada badan candi, kita menemukan cerita urutan relief garuda. Ada relief yang menggambarkan garuda menggendong ular di atas kepalanya, garuda membawa Guci Amerta, dan garuda dengan seorang dewi (ibu). Guci itu tak lain adalah wadah minum para dewa. Alkisah, para dewa tengah mengaduk lautan susu “Ksirarnawa” untuk mencari amerta. Proses pengadukan itulah yang dikenal dengan nama “Samudramantana.” Dapat diduga bahwa proses tersebut merupakan proses terbentuknya semesta, yang serupa lingkaran adukan (spiral). Selain berbagai pusaka, juga keluar kuda putih dari adukan tersebut. Konon, dua dewi bersaudara – Dewi Winata dan Dewi Kadru – bermain tebakan mengenai kuda yang akan keluar. Siapa yang gagal menebak, akan menjadi budak. Winata menebak kuda berwarna putih, sementara Kadru menduga kuda putih berekor hitam yang akan keluar. Ular-ular – anak-anak yang nakal dari Dewi Kadru – melihat lebih dulu bahwa kuda putihlah yang hendak keluar. Tak ingin sang ibu menjadi budak, disemburkanlah bisa pada kuda, sehingga ekornya berubah menjadi hitam. Tak tega melihat Dewi Winata menjadi budak, maka garuda (anak Winata bernama Garudheya) mengorbankan dirinya menjadi budak bagi Dewi Kadru dan ular-ular. Karena tak tega dengan garuda, para ular pun menawarkan perjanjian agar garuda mengambilkan Guci Amerta untuk bebas dari perbudakan. Garuda pun terbang menuju kahyangan dan bertarung melawan para dewa demi sebuah guci. Sayang, ia dikalahkan Wisnu. Mendengar kisah garuda, Wisnu tergugah untuk memberikan guci sebagai bentuk pembebasan terhadap perbudakan dan kecurangan. Rasa terima kasih, diberikan garuda dengan menjadi kendaraan bagi Dewa Wisnu.

Relief tersebut khusus dibaktikan pada Raja Anusapati yang konon begitu adil melawan kecurangan serta perbudakan. Selama masa pemerintahannya, rakyat begitu makmur. Tak heran, ia diibaratkan layaknya Siwa Guru.

Pada bagian atas pintu candi yang berukir sulur, terdapat Kala (Banaspati) guna menolak bala. Ada pula motif “Pohon Hayat” atau Parijata yang serupa Flower of Life, bermakna sebagai siklus kehidupan setelah kematian menuju pencerahan Nirwana. Bunga mencerminkan pencerahan, yang dihiasi dengan burung, serta wajah manusia berbadan burung (manusia yang telah terbang): sebuah kekuatan baru dan kelahiran kembali.

Dahulu, pada bagian kiri, adalah Arca Mahakala atau Dewa Perusak dengan sosok raksasa membawa garda dengan rambut gimbal dan ular. Di sisi kanan, ada Nandicwara, yaitu lembu yang menjadi kendaraan Siwa dengan rupa manusia membawa trisula. Sedangkan pada relung utara, Arca Durgamahisasuramardini (Dewi Parwati) berdiri di atas kerbau (jelmaan raksasa yang telah dikalahkan). Dewi Durga adalah Dewi Kematian yang biasanya memiliki tangan banyak (berjumlah genap) dengan berbagai senjata. Di belakang candi, adalah Ganesha (pemimpin kaum gajah atau anak Siwa yang turun ke bumi, wajahnya hancur terkena pancaran kagum Dewa Sani yang kemudian diganti Wisnu dengan gajah sebagai simbol kebesaran). Ganesha, Dewa Ilmu Pengetahuan, biasanya bertangan genap (membawa kapak, mangkuk madu, tasbih) dengan gading patah sebelah.



Bagian selatan, diprediksi bersemayam Siwa Mahaguru sebagai perwujudan Anusapati dengan sikap “lingga mudra” (telapak tangan di atas tangan kiri yang terbuka). Kini, patung tersebut berada di Museum Royal Tropical Institute di Belanda.

Tak hanya dihiasi dengan ragam relief yang indah, menurut sebuah sumber, dulu di setiap pojok candi dihiasi dengan batu berlian. Saat ini, atap candi telah runtuh sebagian. Dengan bentuk kubus yang semakin meruncing di bagian atas, menampakkan corak geometris yang indah. Pula sakral dan begitu spiritual. Kisah Raja Anusapati masih tetap menjadi misteri, namun keagungan yang tersimpan pada Candi Kidal adalah sebuah rasa yang nyata dapat kita nikmati.

Sumber:
Candi Kidal (2008) Malang. (Sebuah foto kopi mengenai profil Candi Kidal yang didapatkan dari pos informasi.)
Tolle, Eckhart (2006) A New Earth: Awakening to Your Life’s Purpose. USA: Plume.

Tips Perjalanan:
Candi Kidal terletak sekitar 28 km dari Kota Malang. Nyaris tidak ada kendaraan berupa angkutan umum untuk menuju ke sana. Sebaiknya, perjalanan menggunakan motor dari Kota Malang menuju Desa Kidalrejo. Candi Kidal berada sekitar 50 m dari jalan raya desa. Jangan segan untuk terus bertanya arah menuju Desa Kidalrejo sepanjang perjalanan.

Tidak tarif standar untuk mengakses Candi Kidal, jadi sebaiknya berilah donasi secukupnya kepada penjaga/juru kunci candi.

Karena candi msaih dianggap sebagai tempat yang sakral, jadi bersikaplan sopan dan menghargai candi dengan tidak sembarangan menaiki candi (karena juga akan merusak struktur bangunan), tidak membuang sampah, berpakaian sopan, dan bersikap hormat dan santun terhadap juru kunci yang telah berusia lanjut. 

Candi Sumberawan


Candi Sumberawan: Garden of Angels

Terletak sekitar 6 km ke arah barat laut dari Candi Singosari, perjalanan menuju Candi Sumberawan dihiasi dengan kehidupan masyarakat desa dengan latar pegunungan. Di tepian jalan yang kecil, bergelombang, dan berbatu, sesekali tampak petani tengah berjalan memikul pacul tanpa alas kaki. Senyum pun kerap kali dilontarkan. Perjalanan menuju candi ini memang agak sulit. Selain harus berhati-hati dalam berkendara, petunjuk jalan dan arah yang kurang detil memaksa pengunjung mau tak mau untuk berhenti sejenak dan bertanya arah kepada penduduk lokal.


Setelah bertanya arah beberapa kali, kami sampai di kawasan serupa tempat pemandian umum terbuka di mana beberapa anak terlihat sedang mandi, juga perempuan tengah mencuci baju. Tampak di sebelah kanan, sebuah plang sederhana dari kayu menunjukkan jarak 400 meter menuju candi serta bentuk panah mengarah pada jalan setapak di antara pinggiran sawah dan parit berair jernih. Tak yakin dengan arah, seorang ibu dengan seember cucian di atas kepalanya meyakinkan kami bahwa itu adalah jalan menuju candi yang kami maksud. Motor pun kami tuntun sambil kami berjalan pelan.

Hamparan sawah yang baru ditanam serta aliran air yang begitu bening membuat kami terkagum. Setelah menyebrangi jembatan sempit, kami sampai di antara rindang pepohonan. Motor kami parkir di sini. Seorang tukang bakso menjamin aman kendaraan, serta memberitahu posisi candi di balik rindang hijau. Tapi kami tak langsung pergi, melainkan duduk sejenak menikmati pesona dan sejuknya alam sekitar: hamparan sawah, rindangnya pepohonan, serta gemericik mata air pegunungan. Semangkuk bakso mengisi rasa lapar kami. Sesekali terdengar kicau merdu burung dan nyanyian serangga di balik pepohonan.



Melangkah mengikuti jalan setapak di antara pepohonan, akhirnya kami tiba di Candi Sumberawan. Dikelilingi hanya oleh pagar kawat dengan papan pengumuman yang telah berlumut dan informasi seadanya, tampak sebuah bangunan berbatu andesit, begitu menonjol dan menarik pandangan kami.

Sebuah Stupa Misterius
Tak banyak paparan bisa kita temukan mengenai candi yang berlokasi di sebuah telaga kaki Gunung Arjuna (650 DPL), Desa Toyonarto, Kab. Malang ini. Candi Sumberawan pertama kali ditemukan kembali pada tahun 1845 oleh Belanda. Tahun 1937, pemugaran dilakukan terhadap kaki candi.



Candi Sumberawan merupakan canti tunggal yang hanya terdiri dari kaki, badan, dan kepala yang meruncing ke atas. Pada batur candi terdapat selasar berlapis-lapis dengan kaki berbentuk bujur sangkar. Sedangkan bagian selanjutnya, adalah lapis berbentuk segi delapan yang menopang genta. Perpaduan geometris yang menggabungkan bentuk persegi dan lingkaran yang diciptakan, sungguh menjadi kombinasi yang unik dan cerdas. Ujung atas candi sengaja dibiarkan kosong karena bagian tersebut masih belum ditemukan. Tidak ada tangga atau relief apapun yang mengarah pada patung dewa, benda, maupun sosok suci, sehingga mengindikasikan Candi Sumberawan sebagai sebuah wujud stupa utuh. Diduga, bentuk Candi Sumberawan mirip dengan stupa induk di tingkat Arupadhatu di puncak Candi Borobudur, yang melambangkan pencapaian menuju Nirwana. Candi dengan bentuk stupa biasanya dibangun sebagai bentuk Buddha dengan fungsi untuk menyimpan relik Sang Buddha atau ziarah. Bentuk stupa dapat pula diasosiasikan dengan gunung yang menjadi makna dari sebuah kebesaran dan keagungan: Sang Maha Pencipta.

Sebuah Sumber Kedamaian dan Keselarasan Alam
Candi Sumberawan merupakan satu-satunya stupa dengan ukuran terbesar yang ditemukan di Jawa Timur. Candi ini memberi indikasi mulai menyebarnya Buddha di Singosari. Diprediksi, Candi Sumberawan dibangun sekitar abad ke-14 hingga 15 Masehi pada masa Majapahit. Menurut sejarah, Raja Hayam Wuruk sempat berkunjung di tahun 1359 M. Pada Kitab Negarakertagama, kawasan di mana Candi Sumberawan berada, dinamai Kasurangganan yang berarti taman yang dipenuhi oleh bidadari/malaikat (Garden of Angels). Sebutan tersebut tidaklah berlebihan mengingat letak candi yang dikelilingi oleh hutan dan berada tepat di sebuah telaga yang airnya langsung bersumber dari mata air pegunungan di mana nyanyian kodok hampir tak pernah berhenti. Tidak hanya indah dilihat mata, tetapi juga memberikan nuansa kedamaian dan ketenangan. Itulah kemudian mengapa candi dinamakan “Sumberawan.”



Masih di area candi, bisa kita temukan dua buah petirtaan. Di sebelah kiri, menuruni beberapa pijakan anak tangga, terdapat sebuah kolam kecil terbuka dengan patung yang mengaliri air. Air yang tidak pernah surut dan begitu jernih serta segar tersebut keluar dari gentong yang dipegang oleh patung Sang Dewi yang telah berlumut. Perlambang kesuburan dan fertilitas alam yang diasosiaskan dengan femininitas perempuan. Di sisi lain, adalah petirtaan dengan pijakan berbentuk segi delapan di mana pijakan yang paling bawah atau terdekat dengan air, memiliki relief kura-kura sebagai binatang air. Pengunjung diperbolehkan untuk mengambil air atau mengguyur badan pada petirtaan dengan izin dari juru kunci candi.



Candi Sumberawan masih dipergunakan oleh kalangan tertentu sebagai tempat yang sakral dan suci. Ini terlihat adanya sesajen bunga dan dupa yang dibakar menghadap candi. Masyarakat lokal juga masih menghormati dan menganggap candi sebagai tempat yang dikeramatkan. Hal tersebut berkaitan dengan peran penting candi yang mengalirkan sumber mata air bersih dan irigasi sawah bagi masyarakat di desa sekitar. Suasana yang damai dan sakral, mengundang banyak orang untuk melakukan ritual atau peribadahan di sekitar candi. Pengelola atau juru kunci mengizinkan pengunjung untuk melakukan semedi atau berdoa sambil menginap di ruangan khusus yang dibangun di dekat Candi Sumberawan. Tentu untuk menginap, dibutuhkan persyaratan khusus dan waktu yang tepat.



Mengunjungi Candi Sumberawan, tidak hanya memberikan sedikit potret mengenai sejarah masa lalu Jawa pada era Hindu-Buddha, melainkan sebuah pengalaman spiritual di mana kedamaian dan keindahan alam merupakan perpaduan yang mengiringi kehidupan fisik dan rohani manusia. Dari telaga mata air pegunungan yang berada di kawasan Candi Sumberawan, ternyata menyimpan siklus yang mengaliri berkah bagi kesuburan sawah-ladang penduduk, serta ketergantungan manusia terhadap kelestarian alam semesta bagi kehidupan.

Sumber:
Informasi pada papan informasi (lembar keterangan) pada halaman dan kantor informasi Candi Sumberawan.

Tips Perjalanan:
  • Dari Kota Malang, Anda bisa menaiki kendaraan umum ke arah Singosari (sekitar 1,5-2 jam perjalanan) dan turun tepat di gapura bertuliskan Wisata Candi Singosari. Lokasi Candi Sumberawan masih terdapat di kawasan wisata candi serta situs bersejarah lainnya, tepatnya 6 km ke arah barat laut dari Candi Singosari. Jangan segan untuk bertanya pada penduduk sekitar karena penunjuk arah tidak terlalu jelas dan informatif.
  • Karena memiliki banyak candi dan situs bersejarah dengan jarak yang berjauhan, sebaiknya menyewa kendaraan bermotor di Kota Malang untuk mempermudah penelusuran menuju berbagai situs Kerajaan Singosari. Namun, terdapat banyak ojek yang bisa disewa untuk pulang-pergi. Sebaiknya tawarkan harga untuk berkeliling ke lokasi lebih dari satu candi dan situs lainnya dengan harga sekitar Rp 50 ribu untuk sewa sekitar setengah hari.
  • Biasanya, tarif kunjungan dikenakan biaya sebesar Rp 2.000, tapi sebaiknya berikanlah donasi lebih kepada penjaga atau juru kunci candi karena mereka dibayar dengan sangat rendah, bahkan secara sukarela.
  • Rumah makan hanya banyak ditemukan di sekitar Candi Singosari, dengan variasi bakso dan hidangan Jawa Timur-an.

Selasa, 09 April 2013

Candi Cangkuang


Candi Cangkuang: Transformasi Spiritualitas di Tanah Sunda

Selain Kompleks Percandian Batujaya dengan corak Buddha, terdapat lagi sebuah candi tunggal yang berdiri di Jawa Barat. Candi tersebut adalah Candi Cangkuang yang hingga kini merupakan satu-satunya candi yang masih ada di Tanah Sunda dengan aliran Hindu.

Candi Cangkuang memang unik dan telah sejak lama kami merencanakan untuk berkunjung. Lokasinya tidak terlalu jauh dari Ibukota, yaitu di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Dari Jakarta, perjalanan menuju Leles memakan waktu sekitar 3,5 jam dengan rute tol Cipularang (Cikampek-Purwakarta-Padalarang) melewati Cileunyi, Bandung. Bersama dua orang kawan, kami bertiga menjelajah Candi Cangkuang di Garut melalui kendaraan umum dari Jakarta.



Keindahan yang Sakral di antara 6 Gunung
Sabtu pagi itu, sengaja kami berangkat pagi-pagi sekali untuk menghindari kemacetan. Jalan tol lancar dan ketika kami memasuki Garut, rasa lelah dan bosan di dalam bus berangsur terobati dengan pemandangan yang dihiasi oleh hamparan sawah. Padi telah menguning dan petani tampak tengah memanennya. Kami turun di sekitar alun-alun Kecamatan Leles. Di persimpangan, kami memilih melanjutkan perjalanan dengan andong/delman ketimbang ojek. Sebagai transportasi yang juga diperuntukkan bagi warga lokal, tentu saja kami berbagi ruang dengan beberapa penduduk. Tempat duduk menjadi agak sempit, tapi sepanjang perjalanan kami jadi banyak mengobrol tentang kehidupan di Desa Cangkuang ini yang sebagian besar juga adalah petani. Jalanan desa yang tak begitu lebar, membuat mobil di belakang harus mengalah dengan kami yang berkuda.



Suasana desa masih begitu asri. Para orangtua sibuk menyiapkan panen, sementara yang muda kebanyakan bekerja menjadi pengendara delman atau ojek. Hanya butuh sekitar 15 menit untuk sampai di gerbang objek wisata Candi Cangkuang. Jajaran pedagang sovenir berbaris sepanjang sisi menuju loket tiket, mulai dari replika candi, hingga boneka domba.

Candi Cangkuang berada di tengah Pulau Panjang yang dikelilingi perairan berupa danau yang bernama Situ Cangkuang. Untuk mencapainya, kami harus mengendarai rakit bambu tradisional bersama para pengunjung lain. Pada bagian kiri dan kanan danau, terdapat hamparan teratai. Sayangnya, kami tak beruntung hari itu karena bunga teratai tidak sedang mekar di musim hujan, namun hal itu tak mengurangi keindahan panorama sekitar candi. Situ Cangkuang masih bersih. Pada cuaca cerah seperti ini, kami dapat melihat dengan jelas pantulan rindang pepohonan di Pulau Panjang, juga siluet gunung yang mengelilinginya pada permukaan danau.



Udaranya begitu sejuk dan segar, rasanya sangat tenang ketika rakit mulai didorong menuju Pulau Panjang. Seorang pria setengah baya yang mendorongnya tampak begitu sehat dan kuat, diikuti bocah lelaki yang ikut-ikutan belajar mendorong menggunaka sebatang bambu besar dengan kompak bersama ayahnya. Saya bertanya padanya tentang gunung-gunung yang mengelilingi candi. Selain indah, lokasi ini pula bernuansa sakral. Di ujung sana, Candi Cangkuang menghadap Gunung Gede yang diapit oleh Gunung Guntur dan Gunung Kaledong atau Mandalawangi, katanya. Sementara pada sisi pulau adalah Gunung Haruman (kanan) dan Cikuray (kiri), serta membelakangi Gunung Ciremai (sumber lain menyebutkan Gunung Haruman, Pasir Kadaleman, Pasir Gadung, Guntur, Malang, Mandalawangi, dan Kaledong). Maka, keberadaan Candi Cangkuang tepat di pusat bintang segi enam. Menghadap ke arah tiga gunung utama, seolah menandakan Trimurti atau 3 dewa utama, yaitu Dewa Siwa, Wisnu, dan Brahma. Bagi masyarakat Sunda Kuno atau masa sebelum, saat, dan bahkan paska-Kerajaan Sunda (Sunda Wiwitan), Gunung Gede memiliki makna spiritual yang besar. Ia melambangkan keagungan, kekuatan, kehancuran, dan juga penciptaan. Metafor Dewa Siwa atau “Supreme Being” terhadap Gunung Gede tentu menjadi bukan tanpa alasan, sebab banyak kehidupan lahir, hancur, dan lahir kembali dari gunung dengan ketinggian hampir 10 ribu kaki yang menyimpan ribuan jenis keanekaragaman hayati terkaya di Pulau Jawa.



Kami berjalan mengikuti jalan setapak mengelilingi pulau. Melintasi kembali lapak dan warung-warung yang menjual sovenir dan makanan. Kemudian, memasuki kampung kecil yang hanya diisi oleh 6 rumah panggung khas Sunda (tak boleh ditambahkan atau dikurangi) yang saling berhadapan simetris dengan sebuah masjid kecil di ujungnya. Kampung adat ini bernama Kampung Pulo. Candi Cangkuang terletak di atas tangga setapak.

Menjadi Pusat Ajaran Agama Baru
Di antara rindang pepohonan besar, Candi Cangkuang tampak gagah, sekaligus feminin. Dari kejauhan, ia tampak bagai Candi Prambanan atau pura, hanya saja lebih sederhana dan polos. Tak terlihat ukiran maupun relief pada kaki, badan, dan kepala candi. Nama “Cangkuang” pada Candi Cangkuang berasal dari tanaman cangkuang (Pandanus furcatus) yang tumbuh di sekitar candi bersamaan dengan beringin. Candi Cangkuang ditemukan 9 Desember ’66 berdasarkan catatan sejarah arkeolog Belanda (laporan Vorderman tahun 1893). Proses penggaliannya memakan waktu hampir 2 tahun setelahnya. Pada 8 Desember ’76, candi selesai dipugar dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada masa itu. Hanya 40% bagian candi yang asli, sisanya adalah hasil rekonstruksi dengan tambahan andesit dan granit untuk memperkuat strukturnya.



Kini, hanya terdapat satu arca Siwa yang ditaruh di dalam candi. Bentuknya tak lagi sempurna dengan kondisi bagian pinggang yang patah. Saat ditemukan, arca berada dekat dengan nisan Embah Dalem Arif Muhammad yang terletak di sisi kiri. Dahulu, para peziarah yang berdoa selalu mencoba mengangkat arca tersebut sebagai tanda apakah permohonannya terkabul atau tidak.

Tak banyak informasi detil tentang candi yang diduga berasal dari abad ke-7 atau ke-8 masa Kerajaan Sunda I. Catatan sejarah dan kisah justru banyak terkait sosok Arif Muhammad yang kuburannya berjarak 3 meter dari candi. Beliau dikaitkan sebagai penyebar agama Islam pertama di Garut dan sekitarnya.



Arif Muhammad adalah tentara utusan Mataram yang ditugaskan untuk mengusir Belanda dari Batavia sekitar abad XVII. Kegagalannya, tak membuatnya pulang dengan tangan hampa. Bersama pengikutnya, ia justru bersembunyi area sekitar candi. Danau yang mengelilingi Pulau Panjang, dikisahkan dibuat oleh Arif Muhammad dan pengikutnya. Di sinilah ia menyebarkan agama dan membangun pusat ajaran Islam di antara masyarakat Hindu dan Buddha di Tanah Sunda. Pada museum sederhana di dekat candi, kita bisa melihat banyak temuan lembaran kitab berisi ayat-ayat Alquran dari kulit kayu. Berangsur-angsur, masa itu kuil Hindu pun berubah menjadi kawasan layaknya pesantren. Enam rumah yang ada di Kampung Pulo dulu dipakai sebagai tempat mengkaji dan mengaji Islam. Enam melambangkan 6 anak perempuan Arif Muhammad, sementara satu bangunan masjid mewakili putranya yang meninggal (total menjadi 7 bangunan). Sampai sekarang rumah tersebut masih ditinggali oleh generasi ke-8 hingga ke-10 dari keturunan sang Kyai. Uniknya, hanya perempuan-lah yang boleh memiliki rumah (hak waris).



Pak Umar sebagai penjaga candi sekaligus generasi ke-9, banyak bercerita kepada kami. Tak ada hewan ternak, terutama yang berkaki empat di Pulau Panjang. Selain alasan takut merusak sawah-ladang dan mengotori makam-makam kuno, juga karena sapi sebagai kendaraan Siwa (Nandi). Kini, hampir tak ada lagi warga Desa Cangkuang yang menganut Hindu.

Sebelum candi dipugar, telah banyak peziarah datang dengan berbagai latar belakang agama dan permohonan yang datang untuk berdoa. Bagi penduduk lokal, candi hampir tak lagi memiliki makna sakral. Doa-doa dipanjatkan kepada mendiang Embah Dalem Arif Muhammad. Meski begitu, umat Hindu dan Buddha kerap datang berdoa di candi yang dikelilingi oleh hamparan makam kuno dan dihuni oleh kelelawar raksasa.

Ritual yang masih dilakukan warga Kampung Pulo adalah pencucian pusaka dari 7 mata air (6 dari rumah dan 1 dari masjid) saat malam Maulid Nabi (12 Rabiul Awal). Banyak cerita tentang berbagai penampakkan di sekitar candi, pemakaman, maupun pohon-pohon besar di sini. Namun, warga setempat selalu memiliki banyak cara untuk melindungi warisan leluhurnya.

Hingga sekarang, bentuk sebenarnya dari Candi Cangkuang dan lingkungan kuil Hindu ini masih menjadi teka-teki yang menunggu untuk ditemukan. Sementara itu, sosok Arif Muhammad dan Candi Cangkuang merupakan sejarah yang tak dapat dipisahkan dari spiritualitas dan religiusitas masyarakat Sunda kini dan nanti, khususnya bagi orang Garut.

Sumber:
Wawancara santai dengan Pak Umar di area Candi Cangkuang pada Sabtu, 26 januari 2012.

How to travel:
-      Dari Jakarta, perjalanan dapat dilalui dengan tol Cipularang selama 3,5 jam menuju arah Cileunyi, Bandung menuju Garut.
-          Dengan kendaraan umum, menaiki bus Primajasa jurusan Lebak Bulus-Garut (AC Ekonomi) dengan tarif Rp 35 ribu. Atau dari Cileunyi, Bandung dapat menaiki bus yang sama atau kendaraan lain menuju Garut dengan tarif sekitar Rp 12 ribu. Hati-hati jika naik bus lain dari Jakarta karena bisa jadi ia tak melewati tol Cipularang dan malah memakan waktu hingga 7 jam untuk sampai Leles.
-          Sesampainya di Garut, turun di persimpangan/alun-alun Leles (tak jauh dari SMAN 2 Garut) menuju Candi Cangkuang di Desa Cangkuang. Perjalanan dapat dilanjutkan dengan andong, tarif Rp 4 ribu untuk 5 penumpang (Rp 20 ribu satu kali jalan) atau ojek Rp sekitar Rp 10-15 ribu.
-        Tarif tiket masuk hanya Rp 2 ribu untuk anak-anak/pelajar, Rp 3 ribu untuk dewasa, dan Rp 5 ribu untuk turis asing.
-      Untuk menuju Pulau Panjang menggunakan rakit dengan tarif Rp 4 ribu untuk 20 orang. Biasanya, jika kesulitan menunggu penumpang lain, dapat langsung tawar-menawar di kisaran harga Rp 45 ribu (PP dan ditunggu).
-     Hati-hati terhadap penipuan yang menawar mengantar rakit, pastikan siapa yang akan mengantar-jemput di candi.
-        Donasi untuk perawatan situs atau jasa pemandu lokal sangat disarankan, tetapi pertimbangkan untuk memberikan uang pada pengemis atau warga yang meminta-minta pada turis untuk tujuan yang tak jelas.
-        Karena menjadi area yang sakral, jagalah sikap dan hati-hati saat berkeliling di area candi agar tidak menginjak atau merusak nisan kuno.

What to see:
-          Tak jauh dari lokasi wisata Candi Cangkuang terdapat kebun binatang kecil di dekat desa. Mintalah diantar ojek atau kusir delman untuk mengantar.
-          Karena berada di dataran tinggi yang dikelilingi oleh gunung-gunung, lokasi terbaik untuk foto ada di dermaga rakit yang memberikan pantulan dan siluet panorama terbaik.
-     Di dalam Pulau Panjang di mana candi berada, terdapat Kampung Adat Pulo (area konservasi), Makam Arif Muhammad, museum sederhana, dan kompleks pemakaman kuno maupun baru.
-      Ada banyak warung yang menjajakan sovenir dan makanan. Untuk penjualan sovenir, Anda dapat menawarnya.
-        Silakan mampir di Rumah Makan Sari Cobek di Pelataran Parkir Candi Cangkuang (0262-455 557) untuk menikmati hidangan Sunda dengan nuansa saung tradisional beratap ijuk di atas kolam ikan. Suasananya begitu teduh dan tenang. Makanannya pun sangat enak dengan harga tidak terlalu mahal (Rp 21 ribu untuk nasi timbel komplit dengan teh tawar hangat). Mereka juga menyediakan penginapan per kamar atau per rumah dengan harga mulai dari Rp 400 ribu.

Candi Brahu


Candi Brahu: Teka-Teki Ritual Pembakaran Mayat


Kemegahan Majapahit seolah tak ada habisnya untuk ditelusuri. Berbagai candi dan benda-benda pusaka hingga saat ini masih sering ditemukan dan terus diteliti untuk dimaknai asal-usulnya. Mereka tersebar di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto yang dahulu menjadi Ibukota Majapahit. Salah satu candi peninggalan kerajaan yang didirikan oleh Raden Wijaya itu adalah Candi Brahu.



Perjalanan menuju lokasi Candi Brahu, kami lakukan dengan menumpak becak setelah berkeliling seharian mengunjungi lokasi-lokasi candi dan situs lainnya di sekitar Trowulan. Dari Museum Trowulan, perjalanan dilakukan dengan kembali ke arah gapura masuk, lalu menyebrangi jalan raya dan memasuki Desa Bejijong. Dalam perjalanan santai sekitar 15 menit ini, jalan beraspal yang kami lewati diteduhi dengan rindah pepohonan di kiri-kanan jalan yang pada pucuknya menyatu seolah menjadi payung. Hamparan sawah dan perkebunan tebu juga menjadi pemandangan yang membuat mata menjadi sedikit bersemangat.

Semakin mendekat kami mencapai lokasi, bangunan berwarna serupa senja itu mulai memperlihatkan kepalanya yang kian meninggi. Rindang pepohonan pula semakin menampakkan tubuhnya yang meramping. Akhirnya, kami tiba juga di Candi Brahu. Seperti biasanya, kesan megah selalu hadir ketika kami berdiri persis bagai menantang candi dengan hati yang tak berani melawan.

Candi Tertua Trowulan
Seperti langgam candi-candi lainnya di Jawa Timur, khususnya Trowulan, Candi Brahu terbuat dari bata merah (direkatkan dengan teknik gosok) yang tampak menyala begitu terkena sinar matahari langsung. Meski telah berlumut di banyak sisi serta bagian yang tak utuh, namuan kekaguman terhadap tegaknya Candi Brahu yang menjulang ke arah barat (azimut 2270), langsung terasa ketika kami berdiri di bawahnya.

Berdiri di atas ketinggian 32,79 DPL, candi dengan denah bujur sangkar ini, memiliki ketinggian (sekarang) 25,7 meter dan lebar seluas 20,70 meter. Struktur bangunan terdiri kaki, badan, dan atap dengan bingkai meliputi pelipit rata, bagian berbentuk genta dan setengah lingkaran. Menurut penelitian, candi yang ada sekarang, berdiri di atas bangunan sebelumnya. Ini diketahui dari kaki candi dengan struktur yang terpisah, dugaan luas kaki bangunan sebelumnya adalah 17 x 17 meter. Candi Brahu memiliki dua tingkat yang dapat dinaiki melalui selasar dan tangga pada sisi barat. Sayangnya, lantai candi berada dalam kondisi rusak, dan konstruksi yang mengarah pada bentuk sempurna, masih sulit dilakukan mengingat penelitian terhadap bentuk asli candi masih terus diteliti serta banyak bagian yang tak bisa ditemukan lagi. Saat ini, tak semua bata merah adalah asli, melainkan hasil pemugaran pertama oleh Belanda tahun 1920.



Tak ada motif ataupun relief hiasan pada badan candi. Bagian atap berbentuk lingkaran dan tak lagi utuh. Menurut dugaan, bagian yang hilang tersebut merupakan stupa. Artinya, candi memiliki corak Buddha. Pada lempeng Prasasti Alasantan yang dikeluarkan oleh Raja Mpu Sendok tahun 861 Ç atau 939 (abad ke-10 M) yang ditemukan tak jauh dari lokasi candi berada, menyebutkan adanya sebuah bangunan suci bernama Waharu atau Warahu yang kemudian mengalami perubahan pengucapan menjadi “Brahu.” Penemuan prasasti tersebut membuktikan bahwa usia Candi Brahu menjadi yang tertua di antara candi-candi lainnya di Trowulan.

Lokasi Pembakaran/Penyimpanan Abu Jenazah
Candi tak hanya berfungsi sebagai tempat pemujaan atau penyimpanan benda-benda pusaka, tetapi pula menjadi tempat bagi pembakaran mayat ataupun penyimpanan abu jenazah. Candi Brahu diduga kuat merupakan salah satu candi dengan fungsi sakral tersebut.

Masyarakat sekitar percaya bahwa Candi Brahu dahulu merupakan tempat perabuhan atau pembakaran mayat. Meski tak ditemukan bukti arkeologis pendukung, namun telah ditemukan sisa abu dan arang di antara struktur bata pada bilik. Sayangnya, hasil analisa Pusat Penelitian BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional) di Yogyakarta hanya menegaskan pertanggalan radio karbon pada arang yang diduga berasal dari tahun 1410 sampai 1646.

Bilik Candi berada dalam keadaan kosong. Tak ada bukti pasti apakah bilik tersebut pernah diisi oleh arca atau memang sengaja dibuat kosong sebagai ruang pembakaran jenazah atau menyimpan abu mayat. Sementara itu, di dinding timur, masih terdapat altar tempat menaruh sesaji.



Di sekitar Candi Brahu, diperkirakan masih terdapat candi-candi yang telah hilang ataupun belum ditemukan. Pada kompleks candi, telah ditemukan berbagai benda-benda berharga yang diperkirakan hanya dimiliki oleh keluarga kerajaan atau kaum bangsawan. Selain prasasti, terdapat arca-arca bersifat Buddha, serta benda-benda dari emas dan perak yang sebagian tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Jika pun dugaan itu benar bahwa pernah dilakukan ritual pembakaran jenazah atau penyimpanan abu kremasi di candi ini, maka semakin menguatkan Candi Brahu sebagai jenis candi stupa, yang pula memiliki fungsi sebagai tempat ziarah atau lokasi penyimpanan relikui Buddha, termasuk abu jenazah. Namun, tentu saja untuk membuktikan hal ini, masih harus dilakukan berbagai penelitian lebih lanjut.

Memperhatikan bentuk Candi Brahu dengan memandang pada bagian selasar dan tangga, ternyata candi tidak hanya memiliki kepala berwujud stupa, tetapi juga badan candi yang meramping, memiliki wujud mirip stupa yang berlapis-lapis. Dengan teka-teki fungsinya, Candi Brahu tetap saja telah memiliki peran yang sangat penting mengingat usia serta tercatatnya ia pada sebuah prasasti.

Dalam rangka menyambut 50 tahun Kemerdekaan RI, pada 1995 lalu Candi Brahu diresmikan kembali oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Prof. Ing. Wardiman Djojonegoro, setelah dipugar selama sekitar 4-5 tahun. Tentu, banyak pihak masih menunggu hasil penelitian terbaru lainnya serta pemugaran selanjutnya. Tidak hanya sebagai kekhawatiran pada kian tergerusnya bata merah yang menjadi material pokok candi, melainkan pula merealisasikan mimpi terhadap bentuk asli candi yang kelak mungkin akan menguak fungsinya pada kehidupan lampau puluhan abad silam.

Sumber:
Informasi pada papan informasi (lembar keterangan) pada halaman dan kantor informasi Candi Sumberawan.
Kusumawijaya, I Made, dkk. Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan RI.

Tips Perjalanan:
Untuk menuju Candi Brahu, perjalanan dapat dimulai dari terminal bus dan angkutan umum terdekat, yaitu Terminal Purabaya, Surabaya. Tanyalah kendaraan umum kecil menuju lokasi candi di Trowulan dengan tarif di bawah Rp 5 ribu, atau dapat pula menaiki bus besar antar-kota/antar-provinsi (tujuan Solo dan Jogja) yang mengarah ke Trowulan dengan tarif (biasanya tidak selalu sama) Rp 8-10 ribu, lalu turun di Trowulan. Atau, naik bus mini tujuan Mojokerto, dilanjutkan dengan angkutan umum menuju Trowulan dengan ongkos yang hampir sama.

Candi Brahu dapat dicapai dengan menggunakan jasa becak yang banyak ditemukan di sekitar Trowulan. Harga ongkos becak sesuai dengan tawar-menawar. Biasanya, tukang becak akan menawarkan jasa mengelilingi sejumlah situs Trowulan yang terpencar di berbagai desa dengan biaya sekitar Rp 50 ribu.

Kunjungilah terlebih dulu Museum Trowulan atau bertanyalah dengan warga sekitar dan tukang becak untuk mengetahui atau mengajak mengelilingi candi-candi lainnya di sekitar Candi Brahu.

Tak banyak rumah makan atau pedagang makanan dan minuman di berbagai lokasi candi, jadi sebaiknya, persiapkan perbekalan selama berkunjung.