Selasa, 09 April 2013

Candi Brahu


Candi Brahu: Teka-Teki Ritual Pembakaran Mayat


Kemegahan Majapahit seolah tak ada habisnya untuk ditelusuri. Berbagai candi dan benda-benda pusaka hingga saat ini masih sering ditemukan dan terus diteliti untuk dimaknai asal-usulnya. Mereka tersebar di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto yang dahulu menjadi Ibukota Majapahit. Salah satu candi peninggalan kerajaan yang didirikan oleh Raden Wijaya itu adalah Candi Brahu.



Perjalanan menuju lokasi Candi Brahu, kami lakukan dengan menumpak becak setelah berkeliling seharian mengunjungi lokasi-lokasi candi dan situs lainnya di sekitar Trowulan. Dari Museum Trowulan, perjalanan dilakukan dengan kembali ke arah gapura masuk, lalu menyebrangi jalan raya dan memasuki Desa Bejijong. Dalam perjalanan santai sekitar 15 menit ini, jalan beraspal yang kami lewati diteduhi dengan rindah pepohonan di kiri-kanan jalan yang pada pucuknya menyatu seolah menjadi payung. Hamparan sawah dan perkebunan tebu juga menjadi pemandangan yang membuat mata menjadi sedikit bersemangat.

Semakin mendekat kami mencapai lokasi, bangunan berwarna serupa senja itu mulai memperlihatkan kepalanya yang kian meninggi. Rindang pepohonan pula semakin menampakkan tubuhnya yang meramping. Akhirnya, kami tiba juga di Candi Brahu. Seperti biasanya, kesan megah selalu hadir ketika kami berdiri persis bagai menantang candi dengan hati yang tak berani melawan.

Candi Tertua Trowulan
Seperti langgam candi-candi lainnya di Jawa Timur, khususnya Trowulan, Candi Brahu terbuat dari bata merah (direkatkan dengan teknik gosok) yang tampak menyala begitu terkena sinar matahari langsung. Meski telah berlumut di banyak sisi serta bagian yang tak utuh, namuan kekaguman terhadap tegaknya Candi Brahu yang menjulang ke arah barat (azimut 2270), langsung terasa ketika kami berdiri di bawahnya.

Berdiri di atas ketinggian 32,79 DPL, candi dengan denah bujur sangkar ini, memiliki ketinggian (sekarang) 25,7 meter dan lebar seluas 20,70 meter. Struktur bangunan terdiri kaki, badan, dan atap dengan bingkai meliputi pelipit rata, bagian berbentuk genta dan setengah lingkaran. Menurut penelitian, candi yang ada sekarang, berdiri di atas bangunan sebelumnya. Ini diketahui dari kaki candi dengan struktur yang terpisah, dugaan luas kaki bangunan sebelumnya adalah 17 x 17 meter. Candi Brahu memiliki dua tingkat yang dapat dinaiki melalui selasar dan tangga pada sisi barat. Sayangnya, lantai candi berada dalam kondisi rusak, dan konstruksi yang mengarah pada bentuk sempurna, masih sulit dilakukan mengingat penelitian terhadap bentuk asli candi masih terus diteliti serta banyak bagian yang tak bisa ditemukan lagi. Saat ini, tak semua bata merah adalah asli, melainkan hasil pemugaran pertama oleh Belanda tahun 1920.



Tak ada motif ataupun relief hiasan pada badan candi. Bagian atap berbentuk lingkaran dan tak lagi utuh. Menurut dugaan, bagian yang hilang tersebut merupakan stupa. Artinya, candi memiliki corak Buddha. Pada lempeng Prasasti Alasantan yang dikeluarkan oleh Raja Mpu Sendok tahun 861 Ç atau 939 (abad ke-10 M) yang ditemukan tak jauh dari lokasi candi berada, menyebutkan adanya sebuah bangunan suci bernama Waharu atau Warahu yang kemudian mengalami perubahan pengucapan menjadi “Brahu.” Penemuan prasasti tersebut membuktikan bahwa usia Candi Brahu menjadi yang tertua di antara candi-candi lainnya di Trowulan.

Lokasi Pembakaran/Penyimpanan Abu Jenazah
Candi tak hanya berfungsi sebagai tempat pemujaan atau penyimpanan benda-benda pusaka, tetapi pula menjadi tempat bagi pembakaran mayat ataupun penyimpanan abu jenazah. Candi Brahu diduga kuat merupakan salah satu candi dengan fungsi sakral tersebut.

Masyarakat sekitar percaya bahwa Candi Brahu dahulu merupakan tempat perabuhan atau pembakaran mayat. Meski tak ditemukan bukti arkeologis pendukung, namun telah ditemukan sisa abu dan arang di antara struktur bata pada bilik. Sayangnya, hasil analisa Pusat Penelitian BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional) di Yogyakarta hanya menegaskan pertanggalan radio karbon pada arang yang diduga berasal dari tahun 1410 sampai 1646.

Bilik Candi berada dalam keadaan kosong. Tak ada bukti pasti apakah bilik tersebut pernah diisi oleh arca atau memang sengaja dibuat kosong sebagai ruang pembakaran jenazah atau menyimpan abu mayat. Sementara itu, di dinding timur, masih terdapat altar tempat menaruh sesaji.



Di sekitar Candi Brahu, diperkirakan masih terdapat candi-candi yang telah hilang ataupun belum ditemukan. Pada kompleks candi, telah ditemukan berbagai benda-benda berharga yang diperkirakan hanya dimiliki oleh keluarga kerajaan atau kaum bangsawan. Selain prasasti, terdapat arca-arca bersifat Buddha, serta benda-benda dari emas dan perak yang sebagian tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Jika pun dugaan itu benar bahwa pernah dilakukan ritual pembakaran jenazah atau penyimpanan abu kremasi di candi ini, maka semakin menguatkan Candi Brahu sebagai jenis candi stupa, yang pula memiliki fungsi sebagai tempat ziarah atau lokasi penyimpanan relikui Buddha, termasuk abu jenazah. Namun, tentu saja untuk membuktikan hal ini, masih harus dilakukan berbagai penelitian lebih lanjut.

Memperhatikan bentuk Candi Brahu dengan memandang pada bagian selasar dan tangga, ternyata candi tidak hanya memiliki kepala berwujud stupa, tetapi juga badan candi yang meramping, memiliki wujud mirip stupa yang berlapis-lapis. Dengan teka-teki fungsinya, Candi Brahu tetap saja telah memiliki peran yang sangat penting mengingat usia serta tercatatnya ia pada sebuah prasasti.

Dalam rangka menyambut 50 tahun Kemerdekaan RI, pada 1995 lalu Candi Brahu diresmikan kembali oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Prof. Ing. Wardiman Djojonegoro, setelah dipugar selama sekitar 4-5 tahun. Tentu, banyak pihak masih menunggu hasil penelitian terbaru lainnya serta pemugaran selanjutnya. Tidak hanya sebagai kekhawatiran pada kian tergerusnya bata merah yang menjadi material pokok candi, melainkan pula merealisasikan mimpi terhadap bentuk asli candi yang kelak mungkin akan menguak fungsinya pada kehidupan lampau puluhan abad silam.

Sumber:
Informasi pada papan informasi (lembar keterangan) pada halaman dan kantor informasi Candi Sumberawan.
Kusumawijaya, I Made, dkk. Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan RI.

Tips Perjalanan:
Untuk menuju Candi Brahu, perjalanan dapat dimulai dari terminal bus dan angkutan umum terdekat, yaitu Terminal Purabaya, Surabaya. Tanyalah kendaraan umum kecil menuju lokasi candi di Trowulan dengan tarif di bawah Rp 5 ribu, atau dapat pula menaiki bus besar antar-kota/antar-provinsi (tujuan Solo dan Jogja) yang mengarah ke Trowulan dengan tarif (biasanya tidak selalu sama) Rp 8-10 ribu, lalu turun di Trowulan. Atau, naik bus mini tujuan Mojokerto, dilanjutkan dengan angkutan umum menuju Trowulan dengan ongkos yang hampir sama.

Candi Brahu dapat dicapai dengan menggunakan jasa becak yang banyak ditemukan di sekitar Trowulan. Harga ongkos becak sesuai dengan tawar-menawar. Biasanya, tukang becak akan menawarkan jasa mengelilingi sejumlah situs Trowulan yang terpencar di berbagai desa dengan biaya sekitar Rp 50 ribu.

Kunjungilah terlebih dulu Museum Trowulan atau bertanyalah dengan warga sekitar dan tukang becak untuk mengetahui atau mengajak mengelilingi candi-candi lainnya di sekitar Candi Brahu.

Tak banyak rumah makan atau pedagang makanan dan minuman di berbagai lokasi candi, jadi sebaiknya, persiapkan perbekalan selama berkunjung.