Selasa, 09 April 2013

Candi Bajangratu

Candi Bajangratu: Sang Raja Menuju Dunia Wisnu

Memerlukan berbagai upaya yang begitu rumit, untuk tidak menyebutnya sebagai usaha yang mustahil, dalam menyatukan puzzle dari Majapahit yang terpecah-pecah melalui sebaran penemuan candi-candi di Trowulan. Kali ini, kami mengunjungi Candi Bajangratu yang terletak di antara (setelah) Situs Pendopo Agung dan (sebelum) Candi Tikus, sekitar kurang dari 2 km dari Museum Trowulan. Perjalanan kami tempuh dengan menaiki becak yang dengan mudah ditemukan di sekitar museum.



Candi Bajangratu merupakan candi berbentuk gapura atau pintu gerbang serupa Candi Wringin Lawang. Bedanya, Bajangratu bertipe paduraksa, artinya berupa gapura yang beratap. Candi terbuat dari bata merah dengan lantai andesit ini, memiliki denah persegi yang mengerucut ke atas. Uniknya, bagian puncak candi bukan berbentuk stupa atau mata panah atau lingkaran, melainkan persegi. Sekilas, wujudnya menyerupai bangunan Hindu, juga Buddha. Namun sampai saat ini, Candi Bajangratu masih belum bisa dipastikan apakah ia bangunan cengan corak Hindu atau Buddha atau paduan keduanya. Oleh sebab itulah, banyak arkeolog berkesimpulan bahwa candi termasuk ke dalam jenis candi non-religius karena terdapat kemungkinan bahwa candi tidak memiliki keagamaan yang jelas atau bersifat netral (universal).

Wafatnya Sang Raja
Bajangratu diperkirakan telah ditemukan kembali oleh Belanda sekitar tahun 1915. Pada tahun itu, kemungkinan candi mengalami pemugaran untuk pertama kalinya. Setelahnya, tahun 1989 dikonservasi lagi dan selesai pada 1992. Nama “Bajangratu” sendiri memiliki makna yang masih simpang siur. “Ratu” dikonotasikan sebagai raja atau pemimpin kerajaan, sementara “bajang” dapat diterjemahkan sebagai hantu yang berkuku panjang atau manusia/makhluk yang cacat. Sementara itu, Gapura Bajangratu merupakan tempat yang disebut dalam Kitab Nagarakretagama sebagai Sri Ranggapura atau Istana Sri Rangga. Pencantuman tersebut berkaitan dengan mangkatnya Kaligemet, yang tak lain adalah putra mahkota dari pendiri sekaligus raja pertama Majapahit, yaitu Raden Wijaya. Anak dari raja yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana tersebut merupakan anak dari istri yang bernama Prameswari. Tahun 1328, pangeran yang mulai memerintah Majapahit di usia muda itu meninggal dunia saat kondisi kerajaan tengah berkecamuk karena pemberontakan dan perebutan kekuasaan. Gelar Jayanegara yang disandangnya kemudian membuatnya lebih dikenal sebagai Raja Jayanegara.



Pratista (tempat dan bangunan suci) Sang Raja yang masih berada di Trowulan tersebut diduga berada di sekitar Candi Bajangratu di Desa Temon. Hal inilah menguatkan dugaan bahwa Candi Bajangratu adalah candi gapura atau pintu masuk menuju bangunan suci dan sakral yang menjadi lokasi dimakamkannya atau tempat untuk mengenang Jayanegara.

Sebuah Epik dan Hewan-hewan Sakral
Keindahan Candi Bajangratu tidak hanya terletak pada bentuknya yang mirip dengan pura di Bali, tetapi juga pada keunikannya karena terbuat dari bata merah serta berhiaskan aneka relief pada bagian-bagian tertentu. Meski hanya tersisa luas 11,5 x 10,5 meter dengan tinggi 16,5 meter, candi ini tidak kehilangan pesonanya. Relief memang tampak agak kabur dan tak sempurna, tetapi masih bisa dilihat dan diprediksi bentuknya.



Mendekati lorong yang selebar 1,4 meter tersebut, terdapat relief Kala dengan berbagai simbol semesta (sulur atau spiral) yang mengelilinginya serta menghiasi setiap level hingga ke atap. Puncaknya memang berakhir dengan bentuk persegi, namun hiasan spiral di tahapan tertinggi candi, membentuk segitiga sebagai simbol pencapaian menuju Dunia Atas. Segitiga juga menjadi metafor bagi gunung atau sesuatu yang agung (Tuhan). Motif sulur/spiral juga ditemukan di badan dan sayap candi yang geometris ini.

Relief pada Bajangratu sedikitnya memiliki dua kisah, yaitu cerita Sri Tanjung pada kaki gapura dan cerita Ramayana pada sayap kanan. Selain itu terdapat simbol sakral lainnya yang terkait langsung dengan dunia spiritual (non-fisik), seperti relief mata satu. Banyaknya simbol berupa lingkaran, seperti sulur, bunga, dan matahari, merupakan perlambang dari suatu pencerahan (awakening/enlightenment/God).

Sosok lain berupa singa, naga, dan garuda, pada kepercayaan Hindu maupun Buddha, dianggap sebagai sosok magis yang menjadi kendaraan bagi suatu kepergian atau pelepasan (pencapaian menuju dunia lain). Mungkinkah ini berarti bahwa Jayanegara memiliki peran yang lebih dari sekedar seorang raja? Atau Bajangratu menyimpan sakralitas lain yang lebih dari sekedar tempat untuk menghormati orang yang telah meninggal? Sebuah pintu yang dipercaya oleh orang dahulu sebagai lokasi menuju dimensi lain (menembus ruang dan waktu yang berbeda)?



Banyak ahli, mengacu pada tahun kematian Raja Jayanegara untuk menentukan usia Candi Bajangratu yang diduga dibangun pada abad ke-13 sampai 14. Sebagian masyarakat lokal dan kelompok spiritual tertentu, masih menganggap Bajangratu sebagai bangunan yang suci dan sakral.

Lokasi pemakaman Sang Raja yang – menurut para ahli sejarah – dibunuh oleh tabibnya sendiri itu, masih belum ditemukan. Bangunan yang disebut-sebut sebagai bangunan suci di mana Candi Bajangratu menjadi gapuranya tersebut, juga masih diliputi misteri. Namun setidaknya, kehadiran candi non-religius ini memberikan petunjuk adanya sesuatu yang lebih besar dari apa yang terlihat. Entah itu bangunan megah dan suci di belakangnya atau pemaknaan yang lebih dalam dari sekedar sebuah pintu masuk menuju sesuatu yang mencerahkan.

Sumber:
Kusumawijaya, I Made, dkk. Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan RI.
Tolle, Eckhart (2006) A New Earth: Awakening to Your Life’s Purpose. USA: Plume.

Tips Perjalanan:
Untuk menuju Candi Bajang Ratu, perjalanan dapat dimulai dari terminal bus dan angkutan umum terdekat, yaitu Terminal Purabaya, Surabaya. Tanyalah kendaraan umum kecil menuju lokasi candi di Trowulan dengan tarif di bawah Rp 5 ribu, atau dapat pula menaiki bus besar antar-kota/antar-provinsi (tujuan Solo dan Jogja) yang mengarah ke Trowulan dengan tarif (biasanya tidak selalu sama) Rp 8-10 ribu, lalu turun di Trowulan. Atau, naik bus mini tujuan Mojokerto, dilanjutkan dengan angkutan umum menuju Trowulan dengan ongkos yang hampir sama.

Candi Bajang Ratu dapat dicapai dengan menggunakan jasa becak yang banyak ditemukan di sekitar Trowulan. Harga ongkos becak sesuai dengan tawar-menawar. Biasanya, tukang becak akan menawarkan jasa mengelilingi sejumlah situs Trowulan yang terpencar di berbagai desa dengan biaya sekitar Rp 50 ribu.

Kunjungilah terlebih dulu Museum Trowulan atau bertanyalah dengan warga sekitar dan tukang becak untuk mengetahui atau mengajak mengelilingi candi-candi lainnya di sekitar Candi Bajang Ratu.

Tak banyak rumah makan atau pedagang makanan dan minuman di berbagai lokasi candi, jadi sebaiknya, persiapkan perbekalan selama berkunjung.