Memerlukan berbagai upaya yang begitu
rumit, untuk tidak menyebutnya sebagai usaha yang mustahil, dalam menyatukan puzzle dari Majapahit yang
terpecah-pecah melalui sebaran penemuan candi-candi di Trowulan. Kali ini, kami
mengunjungi Candi Bajangratu yang terletak di antara (setelah) Situs Pendopo
Agung dan (sebelum) Candi Tikus, sekitar kurang dari 2 km dari Museum Trowulan.
Perjalanan kami tempuh dengan menaiki becak yang dengan mudah ditemukan di
sekitar museum.
Candi Bajangratu merupakan candi
berbentuk gapura atau pintu gerbang serupa Candi Wringin Lawang. Bedanya, Bajangratu
bertipe paduraksa, artinya berupa
gapura yang beratap. Candi terbuat dari bata merah dengan lantai andesit ini, memiliki
denah persegi yang mengerucut ke atas. Uniknya, bagian puncak candi bukan
berbentuk stupa atau mata panah atau lingkaran, melainkan persegi. Sekilas,
wujudnya menyerupai bangunan Hindu, juga Buddha. Namun sampai saat ini, Candi
Bajangratu masih belum bisa dipastikan apakah ia bangunan cengan corak Hindu
atau Buddha atau paduan keduanya. Oleh sebab itulah, banyak arkeolog
berkesimpulan bahwa candi termasuk ke dalam jenis candi non-religius karena
terdapat kemungkinan bahwa candi tidak memiliki keagamaan yang jelas atau
bersifat netral (universal).
Wafatnya
Sang Raja
Bajangratu diperkirakan telah ditemukan
kembali oleh Belanda sekitar tahun 1915. Pada tahun itu, kemungkinan candi
mengalami pemugaran untuk pertama kalinya. Setelahnya, tahun 1989 dikonservasi
lagi dan selesai pada 1992. Nama “Bajangratu” sendiri memiliki makna yang masih
simpang siur. “Ratu” dikonotasikan sebagai raja atau pemimpin kerajaan,
sementara “bajang” dapat diterjemahkan sebagai hantu yang berkuku panjang atau
manusia/makhluk yang cacat. Sementara itu, Gapura Bajangratu merupakan tempat
yang disebut dalam Kitab Nagarakretagama sebagai Sri Ranggapura atau Istana Sri
Rangga. Pencantuman tersebut berkaitan dengan mangkatnya Kaligemet, yang tak
lain adalah putra mahkota dari pendiri sekaligus raja pertama Majapahit, yaitu Raden
Wijaya. Anak dari raja yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana tersebut merupakan
anak dari istri yang bernama Prameswari. Tahun 1328, pangeran yang mulai
memerintah Majapahit di usia muda itu meninggal dunia saat kondisi kerajaan
tengah berkecamuk karena pemberontakan dan perebutan kekuasaan. Gelar
Jayanegara yang disandangnya kemudian membuatnya lebih dikenal sebagai Raja
Jayanegara.
Pratista (tempat dan
bangunan suci) Sang Raja yang masih berada di Trowulan tersebut diduga berada
di sekitar Candi Bajangratu di Desa Temon. Hal inilah menguatkan dugaan bahwa
Candi Bajangratu adalah candi gapura atau pintu masuk menuju bangunan suci dan
sakral yang menjadi lokasi dimakamkannya atau tempat untuk mengenang Jayanegara.
Sebuah
Epik dan Hewan-hewan Sakral
Keindahan Candi Bajangratu tidak hanya
terletak pada bentuknya yang mirip dengan pura di Bali, tetapi juga pada
keunikannya karena terbuat dari bata merah serta berhiaskan aneka relief pada
bagian-bagian tertentu. Meski hanya tersisa luas 11,5 x 10,5 meter dengan
tinggi 16,5 meter, candi ini tidak kehilangan pesonanya. Relief memang tampak
agak kabur dan tak sempurna, tetapi masih bisa dilihat dan diprediksi
bentuknya.
Mendekati lorong yang selebar 1,4 meter
tersebut, terdapat relief Kala dengan
berbagai simbol semesta (sulur atau spiral) yang mengelilinginya serta
menghiasi setiap level hingga ke atap. Puncaknya memang berakhir dengan bentuk
persegi, namun hiasan spiral di tahapan tertinggi candi, membentuk segitiga sebagai
simbol pencapaian menuju Dunia Atas. Segitiga juga menjadi metafor bagi gunung
atau sesuatu yang agung (Tuhan). Motif sulur/spiral juga ditemukan di badan dan
sayap candi yang geometris ini.
Relief pada Bajangratu sedikitnya
memiliki dua kisah, yaitu cerita Sri Tanjung pada kaki gapura dan cerita
Ramayana pada sayap kanan. Selain itu terdapat simbol sakral lainnya yang
terkait langsung dengan dunia spiritual (non-fisik), seperti relief mata satu.
Banyaknya simbol berupa lingkaran, seperti sulur, bunga, dan matahari,
merupakan perlambang dari suatu pencerahan (awakening/enlightenment/God).
Sosok lain berupa singa, naga, dan
garuda, pada kepercayaan Hindu maupun Buddha, dianggap sebagai sosok magis yang
menjadi kendaraan bagi suatu kepergian atau pelepasan (pencapaian menuju dunia
lain). Mungkinkah ini berarti bahwa Jayanegara memiliki peran yang lebih dari
sekedar seorang raja? Atau Bajangratu menyimpan sakralitas lain yang lebih dari
sekedar tempat untuk menghormati orang yang telah meninggal? Sebuah pintu yang
dipercaya oleh orang dahulu sebagai lokasi menuju dimensi lain (menembus ruang
dan waktu yang berbeda)?
Banyak ahli, mengacu pada tahun kematian
Raja Jayanegara untuk menentukan usia Candi Bajangratu yang diduga dibangun
pada abad ke-13 sampai 14. Sebagian masyarakat lokal dan kelompok spiritual
tertentu, masih menganggap Bajangratu sebagai bangunan yang suci dan sakral.
Lokasi pemakaman Sang Raja yang –
menurut para ahli sejarah – dibunuh oleh tabibnya sendiri itu, masih belum
ditemukan. Bangunan yang disebut-sebut sebagai bangunan suci di mana Candi
Bajangratu menjadi gapuranya tersebut, juga masih diliputi misteri. Namun
setidaknya, kehadiran candi non-religius ini memberikan petunjuk adanya sesuatu
yang lebih besar dari apa yang terlihat. Entah itu bangunan megah dan suci di
belakangnya atau pemaknaan yang lebih dalam dari sekedar sebuah pintu masuk
menuju sesuatu yang mencerahkan.
Sumber:
Kusumawijaya,
I Made, dkk. Mengenal Kepurbakalaan
Majapahit di Daerah Trowulan. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan RI.
Tolle,
Eckhart (2006) A New Earth: Awakening to
Your Life’s Purpose. USA: Plume.
Tips
Perjalanan:
Untuk menuju Candi Bajang Ratu,
perjalanan dapat dimulai dari terminal bus dan angkutan umum terdekat, yaitu
Terminal Purabaya, Surabaya. Tanyalah kendaraan umum kecil menuju lokasi candi
di Trowulan dengan tarif di bawah Rp 5 ribu, atau dapat pula menaiki bus besar
antar-kota/antar-provinsi (tujuan Solo dan Jogja) yang mengarah ke Trowulan
dengan tarif (biasanya tidak selalu sama) Rp 8-10 ribu, lalu turun di Trowulan.
Atau, naik bus mini tujuan Mojokerto, dilanjutkan dengan angkutan umum menuju
Trowulan dengan ongkos yang hampir sama.
Candi Bajang Ratu dapat dicapai dengan
menggunakan jasa becak yang banyak ditemukan di sekitar Trowulan. Harga ongkos
becak sesuai dengan tawar-menawar. Biasanya, tukang becak akan menawarkan jasa
mengelilingi sejumlah situs Trowulan yang terpencar di berbagai desa dengan
biaya sekitar Rp 50 ribu.
Kunjungilah terlebih dulu Museum
Trowulan atau bertanyalah dengan warga sekitar dan tukang becak untuk
mengetahui atau mengajak mengelilingi candi-candi lainnya di sekitar Candi
Bajang Ratu.
Tak banyak rumah makan atau pedagang
makanan dan minuman di berbagai lokasi candi, jadi sebaiknya, persiapkan
perbekalan selama berkunjung.